Peradilan Semu, Rumahku
Kontrak enam bulan tidak boleh nongkrong di kampus tidak berjalan. Aturan itu hanya berlaku tiga bulan. Puncaknya saat tawuran dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). November 2007, pedagang kaki lima depan kampusku masih ada. Suatu siang menjelang sore, satu kompi Satpol PP dengan sewenang-wenang mengobrak abrik dan mengusir para pedagan kaki lima dengan tidak manusiawi. Barang dagangannya dirampas, sedangkan pemiliknya dibiarkan menderita kelaparan. Para pedagang itu tidak melawan, hanya berpasrah melihat barang dagangannya di rampok Satpol PP. Jelas kami tidak tega melihat tingkah pemerintah otoriter itu. Suatu perbuatan yang tidak manusiawi. Mereka hanya menghukum tapi tidak member solusi. Bagi kami, itu seperti orde baru yang kembali. Merasa iba dengan nasib para pedagang itu, kami pun tergerak melakukan perlawanan. Seolah gayung bersambut, tiba-tiba ada suara yang menyerukan “Viva UKI”. Sontak teriakan itu menjadi komando perang yang mengobarkan semangat perlawanan. Hampir semua mahasiswa turun ke jalan melawan penindasan Satpol PP. Batu, kayu, sabuk bahkan celurit menjadi senjata andalan. Sesaat, Satpol PP berhasil dipukul mundur. Namun tidak lama berselang, tawuran muncul kembali. Sejumlah orang berpakaian preman menyerang kampus UKI. Tawuran besar itu tidak menimbulkan korban jiwa, tapi suasananya cukup mencekam. FH UKI diliburkan selama dua hari. Pasca liburan, seluruh mahasiswa baru kompak untuk tidak memakai baju kemeja celana bahan, apalagi jaket almamater.
Kontrak enam bulan tidak boleh nongkrong di kampus tidak berjalan. Aturan itu hanya berlaku tiga bulan. Puncaknya saat tawuran dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). November 2007, pedagang kaki lima depan kampusku masih ada. Suatu siang menjelang sore, satu kompi Satpol PP dengan sewenang-wenang mengobrak abrik dan mengusir para pedagan kaki lima dengan tidak manusiawi. Barang dagangannya dirampas, sedangkan pemiliknya dibiarkan menderita kelaparan. Para pedagang itu tidak melawan, hanya berpasrah melihat barang dagangannya di rampok Satpol PP. Jelas kami tidak tega melihat tingkah pemerintah otoriter itu. Suatu perbuatan yang tidak manusiawi. Mereka hanya menghukum tapi tidak member solusi. Bagi kami, itu seperti orde baru yang kembali. Merasa iba dengan nasib para pedagang itu, kami pun tergerak melakukan perlawanan. Seolah gayung bersambut, tiba-tiba ada suara yang menyerukan “Viva UKI”. Sontak teriakan itu menjadi komando perang yang mengobarkan semangat perlawanan. Hampir semua mahasiswa turun ke jalan melawan penindasan Satpol PP. Batu, kayu, sabuk bahkan celurit menjadi senjata andalan. Sesaat, Satpol PP berhasil dipukul mundur. Namun tidak lama berselang, tawuran muncul kembali. Sejumlah orang berpakaian preman menyerang kampus UKI. Tawuran besar itu tidak menimbulkan korban jiwa, tapi suasananya cukup mencekam. FH UKI diliburkan selama dua hari. Pasca liburan, seluruh mahasiswa baru kompak untuk tidak memakai baju kemeja celana bahan, apalagi jaket almamater.
Entah siapa yang
memulai, hari itu kami datang ke kampus memakai pakaian layaknya para senior.
Kami juga sudah mulai berani duduk di bangku taman. Anehnya, tidak satu pun
senior yang melarang. Kebabasan mulai dirasakan sejak hari itu. Dari situlah
aku mulai dengan dengan bebas berorganisasi dalam kampus. Semakin hari aku
semakin aktif di FDIM.
Setahun di UKI, aku
sudah mulai ikut kegiatan kompetitif. Berawal dari bergabung dengan FDIM, kami
berubah haluan. Suatu hari ada undangan dari Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang. Undip mau mengadakan kompetisi peradilan semu tingkat nasional Piala
Prof Sudarto II. Para seniorku di FDIM mengajakku ikut dalam kompetisi itu.
Dengan melewati beberapa tahap seleksi, akhirnya aku masuk dalam tim inti
kompetisi. Selama hampir tiga bulan, kesibukanku dan tempat nongkrongku pun
berpindah. Tidak lagi di perpustakaan, tetapi berpindah ke ruangan 111, sebuah
ruangan yang kami jadikan markas peradilan semu. Kami mendapat surat izin
pemakaian ruangan selam 3 bulan. Ruangan itu tidak bisa diganggu oleh siapa
pun. Kami bergaul secara eksklusif, sampai-sampai orang di luar kami tidak
berani bergabung apalagi masuk ke ruangan itu. Kami diperlakukan istimewa.
Ruangan itu layaknya kantor bagi kami. Jam 8 sudah nongkrong, pulang jam 10
malam bahkan nginap. Inilah cikal bakal Moot Court Community Fakultas Hukum UKI
(MCC FH UKI).
MCC FH UKI didirikan
setelah pulang dari kompetisi peradilan semu Prof. Sudarto. Atas inisiatif
delegasi, kami sebagai penerus giat mengurus seluruh persyaratan administrasi
untuk mendirikan UKM. Melalui rapat singkat yang dihadiri seluruh anggota
delegasi FH UKI, rapat mengangkat saya untuk memimpin perjuangan mendirikan UKM
Peradilan semu. Ide mendirikan UKM ini sebenarnya berawal dari rapat ketua tim
delegasi di Undip Semarang. Rapat itu memutuskan untk membentuk sebuah
Organisasi Nasional Peradilan Semu. Dalam rapat perdana itu diputuskan, yang
berhak menjadi anggota hanya kampus yang memiliki organisasi peradilan semu.
Waktu itu, FH UKI belum ada organisasi. Maka atas mandat rapat itu, kami segera
membentuk kepengurusan sementara, dan saya ditunjuk sebagai ketua.
Saya tidak mau
memimpin sendirian. Menggandeng teman angkatan yang ikut dalam kompetisi, kami
mulai bergerak mensukseskan niat mendirikan organisasi resmi intra kampus.
Martopado dan Wilfrid Sihombing menjadi teman perjuanganku. Kami seperti
saudara yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Juga ada dua orang junior
yang tidak kalah semangatnya, Guritno Limbad, dan Nova Siahaan. Hampir setiap
hari kami bolak balik keluar masuk ruangan dekan dan ruangan kepala program
studi (Kaprodi). Dekan dan kaprodi menentang konsep organisasi kami yang tidak
berada di bawah BEM dan senat mahasiswa. Alasan kami waktu itu, kami tidak mau
berada dibawah naungan senat mahasiswa dan BEM. Pada saat itu, senat dan BEm FH
UKI tidak jelas. Organisasinya ada, tapi tanpa kegiatan. Seluruh programnya
tidak jelas. Dana khusus untuk kegiatan mahasiswa tidak jelas pengelolaannya.
Merespon usulan kami,
Dekan dengan beberapa pimpinan fakultas mengundang pimpinan UKM FH UKI dan
senat serta BEM, termasuk saya untuk rapat. Dalam rapat itu, saya tetap
menawarkan ide agar organisasi yang kami bentuk berdiri langsung di bawah
organisasi fakultas, atau kedudukannya setara dengan senat. Secara organisatori
memang tidak benar dan tidak logis. Tapi karena situasi tidak jelas saat itu,
kami tetap berprinsip demikian. Dalam rapat itu juga, kami menunutut untuk
pemilihan ulang terhadap ketua senat dan BEM. Alhasil tuntutan kami beberapa
bulan kemudian terlaksana, walaupun sekedar isu. Namun, organisasi kami tetap
berdiri kokoh. SK pendirian dari Fakultas pun terbit, ruangan ber-AC pun
disediakan menjadi markas kami. Semua tuntutan kami dipenuhi pihak Fakultas.
Perjuangan itu tidak
semuanya berhasil. Kami malah terlena dengan kemewahan dan urusan administrasi
organisasi. Kegiatan utama yang telah menjadi alasan berdirinya organisasi
tidak jalan. Undangan kompetisi direspon biasa-biasa saja. Walau permasalahan
tidak bisa ditimpakan hanya kepada kami sebagai pengurus. Waktu mendapat undangan
untuk ikut kompetitisi di Universitas Pancasila misalnya. Kami meminta agar
kampus ikut membantu membiyai dan membimbing. Duitnya turun, tapi hanya cukup
untuk pendaftaran. Sedangkan untuk urusan sehari-hari tidak pernah ada. Setelah
sekian terdesak, kami pun meminta bantuan dekan. Namun, petaka itu tiba. Dekan
baru merespon ketika pedaftaran sudah ditutup. Kemarahan pun mulai muncul. Saya
memutuskan tidak mau memimpin lagi, dan memilih mundur. Tongkat kepemimpinan di
serahkan ke juniorku. Komunitas ini tetap berjalan sampai sekarang, bahkan
semakin agresif. Terakhir saya di minta menjadi moderator dalam diskusi yang
diadakan komunitas ini. Ditengah kesibukan, aku tidak bisa menolak, karena aku
turut bertanggungjawab dan punya ikatan emosional dengan komunitas ini.
Peradilan semu telah membesarkanku dan telah menjadi rumahku.
0 komentar:
Posting Komentar