Pages

Kamis, 18 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO 74 (3)

Peradilan Semu, Rumahku

Kontrak enam bulan tidak boleh nongkrong di kampus tidak berjalan. Aturan itu hanya berlaku tiga bulan. Puncaknya saat tawuran dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). November 2007, pedagang kaki lima depan kampusku masih ada. Suatu siang menjelang sore, satu kompi Satpol PP dengan sewenang-wenang mengobrak abrik dan mengusir para pedagan kaki lima dengan tidak manusiawi. Barang dagangannya dirampas, sedangkan pemiliknya dibiarkan menderita kelaparan. Para pedagang itu tidak melawan, hanya berpasrah melihat barang dagangannya di rampok Satpol PP. Jelas kami tidak tega melihat tingkah pemerintah otoriter itu. Suatu perbuatan yang tidak manusiawi. Mereka hanya menghukum tapi tidak member solusi. Bagi kami, itu seperti orde baru yang kembali. Merasa iba dengan nasib para pedagang itu, kami pun tergerak  melakukan perlawanan. Seolah gayung bersambut, tiba-tiba ada suara yang menyerukan “Viva UKI”. Sontak teriakan itu menjadi komando perang yang mengobarkan semangat perlawanan. Hampir semua mahasiswa turun ke jalan melawan penindasan Satpol PP. Batu, kayu, sabuk bahkan celurit menjadi senjata andalan. Sesaat, Satpol PP berhasil dipukul mundur. Namun tidak lama berselang, tawuran muncul kembali. Sejumlah orang berpakaian preman menyerang kampus UKI. Tawuran besar itu tidak menimbulkan korban jiwa, tapi suasananya cukup mencekam. FH UKI diliburkan selama dua hari. Pasca liburan, seluruh mahasiswa baru kompak untuk tidak memakai baju kemeja celana bahan, apalagi jaket almamater.

Entah siapa yang memulai, hari itu kami datang ke kampus memakai pakaian layaknya para senior. Kami juga sudah mulai berani duduk di bangku taman. Anehnya, tidak satu pun senior yang melarang. Kebabasan mulai dirasakan sejak hari itu. Dari situlah aku mulai dengan dengan bebas berorganisasi dalam kampus. Semakin hari aku semakin aktif di FDIM.

Setahun di UKI, aku sudah mulai ikut kegiatan kompetitif. Berawal dari bergabung dengan FDIM, kami berubah haluan. Suatu hari ada undangan dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Undip mau mengadakan kompetisi peradilan semu tingkat nasional Piala Prof Sudarto II. Para seniorku di FDIM mengajakku ikut dalam kompetisi itu. Dengan melewati beberapa tahap seleksi, akhirnya aku masuk dalam tim inti kompetisi. Selama hampir tiga bulan, kesibukanku dan tempat nongkrongku pun berpindah. Tidak lagi di perpustakaan, tetapi berpindah ke ruangan 111, sebuah ruangan yang kami jadikan markas peradilan semu. Kami mendapat surat izin pemakaian ruangan selam 3 bulan. Ruangan itu tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Kami bergaul secara eksklusif, sampai-sampai orang di luar kami tidak berani bergabung apalagi masuk ke ruangan itu. Kami diperlakukan istimewa. Ruangan itu layaknya kantor bagi kami. Jam 8 sudah nongkrong, pulang jam 10 malam bahkan nginap. Inilah cikal bakal Moot Court Community Fakultas Hukum UKI (MCC FH UKI).

MCC FH UKI didirikan setelah pulang dari kompetisi peradilan semu Prof. Sudarto. Atas inisiatif delegasi, kami sebagai penerus giat mengurus seluruh persyaratan administrasi untuk mendirikan UKM. Melalui rapat singkat yang dihadiri seluruh anggota delegasi FH UKI, rapat mengangkat saya untuk memimpin perjuangan mendirikan UKM Peradilan semu. Ide mendirikan UKM ini sebenarnya berawal dari rapat ketua tim delegasi di Undip Semarang. Rapat itu memutuskan untk membentuk sebuah Organisasi Nasional Peradilan Semu. Dalam rapat perdana itu diputuskan, yang berhak menjadi anggota hanya kampus yang memiliki organisasi peradilan semu. Waktu itu, FH UKI belum ada organisasi. Maka atas mandat rapat itu, kami segera membentuk kepengurusan sementara, dan saya ditunjuk sebagai ketua.

Saya tidak mau memimpin sendirian. Menggandeng teman angkatan yang ikut dalam kompetisi, kami mulai bergerak mensukseskan niat mendirikan organisasi resmi intra kampus. Martopado dan Wilfrid Sihombing menjadi teman perjuanganku. Kami seperti saudara yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Juga ada dua orang junior yang tidak kalah semangatnya, Guritno Limbad, dan Nova Siahaan. Hampir setiap hari kami bolak balik keluar masuk ruangan dekan dan ruangan kepala program studi (Kaprodi). Dekan dan kaprodi menentang konsep organisasi kami yang tidak berada di bawah BEM dan senat mahasiswa. Alasan kami waktu itu, kami tidak mau berada dibawah naungan senat mahasiswa dan BEM. Pada saat itu, senat dan BEm FH UKI tidak jelas. Organisasinya ada, tapi tanpa kegiatan. Seluruh programnya tidak jelas. Dana khusus untuk kegiatan mahasiswa tidak jelas pengelolaannya.

Merespon usulan kami, Dekan dengan beberapa pimpinan fakultas mengundang pimpinan UKM FH UKI dan senat serta BEM, termasuk saya untuk rapat. Dalam rapat itu, saya tetap menawarkan ide agar organisasi yang kami bentuk berdiri langsung di bawah organisasi fakultas, atau kedudukannya setara dengan senat. Secara organisatori memang tidak benar dan tidak logis. Tapi karena situasi tidak jelas saat itu, kami tetap berprinsip demikian. Dalam rapat itu juga, kami menunutut untuk pemilihan ulang terhadap ketua senat dan BEM. Alhasil tuntutan kami beberapa bulan kemudian terlaksana, walaupun sekedar isu. Namun, organisasi kami tetap berdiri kokoh. SK pendirian dari Fakultas pun terbit, ruangan ber-AC pun disediakan menjadi markas kami. Semua tuntutan kami dipenuhi pihak Fakultas.


Perjuangan itu tidak semuanya berhasil. Kami malah terlena dengan kemewahan dan urusan administrasi organisasi. Kegiatan utama yang telah menjadi alasan berdirinya organisasi tidak jalan. Undangan kompetisi direspon biasa-biasa saja. Walau permasalahan tidak bisa ditimpakan hanya kepada kami sebagai pengurus. Waktu mendapat undangan untuk ikut kompetitisi di Universitas Pancasila misalnya. Kami meminta agar kampus ikut membantu membiyai dan membimbing. Duitnya turun, tapi hanya cukup untuk pendaftaran. Sedangkan untuk urusan sehari-hari tidak pernah ada. Setelah sekian terdesak, kami pun meminta bantuan dekan. Namun, petaka itu tiba. Dekan baru merespon ketika pedaftaran sudah ditutup. Kemarahan pun mulai muncul. Saya memutuskan tidak mau memimpin lagi, dan memilih mundur. Tongkat kepemimpinan di serahkan ke juniorku. Komunitas ini tetap berjalan sampai sekarang, bahkan semakin agresif. Terakhir saya di minta menjadi moderator dalam diskusi yang diadakan komunitas ini. Ditengah kesibukan, aku tidak bisa menolak, karena aku turut bertanggungjawab dan punya ikatan emosional dengan komunitas ini. Peradilan semu telah membesarkanku dan telah menjadi rumahku.

0 komentar:

Posting Komentar