Pages

Rabu, 24 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO (4)

Tiga Bulan untuk "Dunia Sophie"

Siapakah dirimu? Dari mana asalnya dunia?. Itulah pertanyaan pertama yang dilayangkan tokoh Alberto Knox dalam novel Dunia Sophie. Para pencinta novel dan filsafat pasti sudah pernah membaca paling tidak mendengar ceritanya. Dunia Sophie merupakan sebuah novel karya Jostein Gaarder, diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Mizan tahun 1996. Aslinya ditulis dalam bahasa Norwegia, tetapi sudah diterjemahkan ke dalam lima puluh tiga bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Novel ini sebagian besar terdiri dari dialog-dialog antara Sophie, seorang gadis remaja, dan seorang pria misterius bernama Alberto Knox, yang saling terkait dengan plot yang unik dan misterius. Novel ini menjadi sebuah novel sekaligus panduan dasar filsafat. Pada tahun 1999, novel ini diadaptasi kedalam sebuah film di Norwegia.

Saya baru mengetahui tentang novel ini setelah 14 tahun pasca penerbitan pertama. Tepatnya tahun 2010. Waktu itu aku sudah semester tujuh. Saya tidak pernah mencari tahu sebelumnya atau mendengar cerita orang. Saya memiliki hobby membaca, tapi novel ini luput dari perhatian saya. Untuk memiliki buku ini, membutuhkan proses yang panjang. Kisahnya seperti ini.

Suatu hari, saya jalan-jalan ke toko buku Gramedia Matraman. Tidak ada tujuan lain selain pergi membaca gratis dan “cuci mata”. Membaca gratis, karena tidak ada uang untuk membeli. Gramedia dijadikan perpustakaan ketiga setelah perpustakaan fakultas dan perpustakaan nasional. “Perpustakaan” Gramedia sangat special. Di samping menyediakan buku-buku baru, juga menyajikan pemandangan yang menarik. Sehingga “cuci mata” menjadi tujuan lain selain membaca.

Setiap kali ke Gramedia, rak buku-buku hukum menjadi tujuan pertama. Di sana saya senang membaca buku-buku tata Negara. Biasanya, saya menggunakan waktu satu sampai dua jam membaca. Setelah bosan, biasanya jalan-jalan sekitar tempat jualan novel. Sebenarnya saya tidak terlalu suka baca novel. Ke tempat jualan novel bukan untuk membaca, tetapi sekedar jalan-jalan sambil melihat gadis-gadis cantik, sedang mata berpura-pura melihat ke arah rak novel. Tanpa disengaja, mataku tertuju pada novel fenomenal itu, “Dunia Sophie”. Saya iseng membaca sinopsisnya. Menarik juga. Coba lihat harganya. Astaga! Harganya selangit. Sembilan puluh Sembilan ribu rupiah.

Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Dalam kantong celanaku (waktu itu aku tidak memiliki dompet) hanya ada uang lima ribu rupiah. Uang itu hanya cukup untuk bayar angkot pulang ke kosan. Bahkan untuk makan siang pun aku tidak punya. Ingin hati memilikinya, apadaya uang tak punya. Terpaksa hanya bisa memandang.

Besoknya, aku datang lagi dengan berjalan kaki dari Diponegoro 74. Setelah mengunjungi stand buku-buku hukum sebentar, aku pun ke tempat novel itu berada. Niatku bukan untuk membeli, tapi sekedar membaca. Setelah lima belas menit mencari, Dunia Sophie tidak kutemukan. Setelah kutanya ke pelayan, ternyata bukunya habis. Gila! Buku itu laris buanget. Terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Aku iseng pergi ke Pasar Senen, tempat jual buku-buku murah. Waaaah!!! masih ada. Aku mengambilnya dan melihat-lihat sepintas. Kertasnya hampir sama dengan yang dijual di Gramedia. Tapi setalah ku bolak-balik sampai halaman tengah, sebagian buku itu hampir copot. Saat hendak menutupnya, tiba-tiba mataku tertuju pada halaman yang aneh. Ada lompatan penomoran halaman. Ternyata ada halaman buku yang hilang. Dengan penuh kekecewaan, buku itu kuletakkan kembali pada tempat semula. Penjualnya menawarkan sambil menjelaskan sedikit isinya sejauh yang dia paham. “Seratus dua puluh, bang. Novel ini sangat menarik. Laris pulak, bang”, katanya dengan sedikit dialek batak. “Mahal kali, lae”, jawabku. “Aku kasi seratus buat kaulah, bang. Harga langganan”, katanya lagi. “Ah, mahal kali. Tiga puluh lah”, jawabku sambil kaki beranjak pergi dari tempat itu. Aku tidak jadi beli. Padahal dikasih harga tiga puluh ribu pun, aku tetap tidak bisa membelinya. Aku hanya punya sepuluh ribu perak.

Aku semakin penasaran dan ingin memiliki Dunia Sophie. Sejak semester tujuh, aku mulai menabung untuk mendapatkan buku itu. Seribu rupiah per hari. Proses menabung pun penuh gejolak tan tantangan. Aku menabung dari uang jatah bulanan. Seperti yang aku tulis dalam edisi “Persemu, Rumahku”, aku mendapat jatah bulanan dari kakakku sebesar lima ratus ribu rupiah. Sudah termasuk uang kosan (tiga ratus ribu rupiah), fotokopi bahan kuliah, uang makan, dan lain-lain. Dengan jumlah uang yang terbatas, aku berusaha menabung, walau selalu gagal. Setelah 50 hari menabung, celengan itu terpaksa dibongkar lagi. Alasannya Cuma satu. Aku tidak ada lagi uang untuk makan. Berusaha nabung lagi, tetapi gagal.

Aku baru betul-betul bisa mulai menabung setelah mulai magang di LeIP. Aku magang di LeIP sejak Juli 2011. Aku memiliki sepuluh hari kerja dalam sebulan, dengan uang transport seratus ribu rupiah per kehadiran. Total satu juta selama sepuluh hari. Di luar sepuluh hari kerja itu aku nganggur dan kadang mencari tempat diskusi. Biasanya aku pergi nongkrong dan diskusi di kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Jakarta (PBHI Jakarta) sekedar isi waktu luang. Tidak ada uang tambahan.


Uang satu juta melebihi uang saku bulanan saya selama kuliah. Sejak saat itu, aku sudah mulai mandiri. Aku membayar kosan dan makan selama sebulan dari uang satu juta itu. Sejak saat itu pula aku mulai menabung lagi demi Dunia Sophie dan keperluan lainnya. Biasanya, aku menabung seratus rupiah per hari. Tiga bulan magang di LeIP aku bisa membelikan novel dunia sophie itu. Saya bangga ketika bisa membelikan novel Dunia Sophie dari keringat sendiri dan hasil tabungan tiga bulan. Perjuangan untuk memilikinya membuat aku semakin terpacu untuk membacanya secara berulang-ulang. Bahkan, saya selalu puas walau sekedar memandangnya. Bukan karena isinya, tapi karena perjuangan saya untuk mendapatkan novel itu. Tiga bulan untuk Dunia Sophie.

0 komentar:

Posting Komentar