Tiga Bulan untuk "Dunia Sophie"
Siapakah dirimu? Dari
mana asalnya dunia?. Itulah pertanyaan pertama yang dilayangkan tokoh Alberto
Knox dalam novel Dunia Sophie. Para pencinta novel dan filsafat pasti sudah
pernah membaca paling tidak mendengar ceritanya. Dunia Sophie merupakan sebuah
novel karya Jostein Gaarder, diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Mizan tahun
1996. Aslinya ditulis dalam bahasa Norwegia, tetapi sudah diterjemahkan ke dalam
lima puluh tiga bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Novel ini sebagian besar
terdiri dari dialog-dialog antara Sophie, seorang gadis remaja, dan seorang
pria misterius bernama Alberto Knox, yang saling terkait dengan plot yang unik
dan misterius. Novel ini menjadi sebuah novel sekaligus panduan dasar filsafat.
Pada tahun 1999, novel ini diadaptasi kedalam sebuah film di Norwegia.
Saya baru mengetahui
tentang novel ini setelah 14 tahun pasca penerbitan pertama. Tepatnya tahun
2010. Waktu itu aku sudah semester tujuh. Saya tidak pernah mencari tahu
sebelumnya atau mendengar cerita orang. Saya memiliki hobby membaca, tapi novel
ini luput dari perhatian saya. Untuk memiliki buku ini, membutuhkan proses yang
panjang. Kisahnya seperti ini.
Suatu hari, saya
jalan-jalan ke toko buku Gramedia Matraman. Tidak ada tujuan lain selain pergi
membaca gratis dan “cuci mata”. Membaca gratis, karena tidak ada uang untuk
membeli. Gramedia dijadikan perpustakaan ketiga setelah perpustakaan fakultas
dan perpustakaan nasional. “Perpustakaan” Gramedia sangat special. Di samping menyediakan
buku-buku baru, juga menyajikan pemandangan yang menarik. Sehingga “cuci mata”
menjadi tujuan lain selain membaca.
Setiap kali ke
Gramedia, rak buku-buku hukum menjadi tujuan pertama. Di sana saya senang
membaca buku-buku tata Negara. Biasanya, saya menggunakan waktu satu sampai dua
jam membaca. Setelah bosan, biasanya jalan-jalan sekitar tempat jualan novel. Sebenarnya
saya tidak terlalu suka baca novel. Ke tempat jualan novel bukan untuk membaca,
tetapi sekedar jalan-jalan sambil melihat gadis-gadis cantik, sedang mata
berpura-pura melihat ke arah rak novel. Tanpa disengaja, mataku tertuju pada
novel fenomenal itu, “Dunia Sophie”. Saya iseng membaca sinopsisnya. Menarik juga.
Coba lihat harganya. Astaga! Harganya selangit. Sembilan puluh Sembilan ribu
rupiah.
Aku tidak memiliki
uang sebanyak itu. Dalam kantong celanaku (waktu itu aku tidak memiliki dompet)
hanya ada uang lima ribu rupiah. Uang itu hanya cukup untuk bayar angkot pulang
ke kosan. Bahkan untuk makan siang pun aku tidak punya. Ingin hati memilikinya,
apadaya uang tak punya. Terpaksa hanya bisa memandang.
Besoknya, aku datang
lagi dengan berjalan kaki dari Diponegoro 74. Setelah mengunjungi stand
buku-buku hukum sebentar, aku pun ke tempat novel itu berada. Niatku bukan
untuk membeli, tapi sekedar membaca. Setelah lima belas menit mencari, Dunia
Sophie tidak kutemukan. Setelah kutanya ke pelayan, ternyata bukunya habis. Gila!
Buku itu laris buanget. Terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Aku iseng pergi ke
Pasar Senen, tempat jual buku-buku murah. Waaaah!!! masih ada. Aku mengambilnya
dan melihat-lihat sepintas. Kertasnya hampir sama dengan yang dijual di Gramedia.
Tapi setalah ku bolak-balik sampai halaman tengah, sebagian buku itu hampir
copot. Saat hendak menutupnya, tiba-tiba mataku tertuju pada halaman yang aneh.
Ada lompatan penomoran halaman. Ternyata ada halaman buku yang hilang. Dengan penuh
kekecewaan, buku itu kuletakkan kembali pada tempat semula. Penjualnya menawarkan
sambil menjelaskan sedikit isinya sejauh yang dia paham. “Seratus dua puluh,
bang. Novel ini sangat menarik. Laris pulak, bang”, katanya dengan sedikit
dialek batak. “Mahal kali, lae”, jawabku. “Aku kasi seratus buat kaulah, bang. Harga
langganan”, katanya lagi. “Ah, mahal kali. Tiga puluh lah”, jawabku sambil kaki
beranjak pergi dari tempat itu. Aku tidak jadi beli. Padahal dikasih harga tiga
puluh ribu pun, aku tetap tidak bisa membelinya. Aku hanya punya sepuluh ribu
perak.
Aku semakin penasaran
dan ingin memiliki Dunia Sophie. Sejak semester tujuh, aku mulai menabung untuk
mendapatkan buku itu. Seribu rupiah per hari. Proses menabung pun penuh gejolak
tan tantangan. Aku menabung dari uang jatah bulanan. Seperti yang aku tulis
dalam edisi “Persemu, Rumahku”, aku mendapat jatah bulanan dari kakakku sebesar
lima ratus ribu rupiah. Sudah termasuk uang kosan (tiga ratus ribu rupiah),
fotokopi bahan kuliah, uang makan, dan lain-lain. Dengan jumlah uang yang
terbatas, aku berusaha menabung, walau selalu gagal. Setelah 50 hari menabung,
celengan itu terpaksa dibongkar lagi. Alasannya Cuma satu. Aku tidak ada lagi
uang untuk makan. Berusaha nabung lagi, tetapi gagal.
Aku baru betul-betul
bisa mulai menabung setelah mulai magang di LeIP. Aku magang di LeIP sejak Juli
2011. Aku memiliki sepuluh hari kerja dalam sebulan, dengan uang transport seratus
ribu rupiah per kehadiran. Total satu juta selama sepuluh hari. Di luar sepuluh
hari kerja itu aku nganggur dan kadang mencari tempat diskusi. Biasanya aku
pergi nongkrong dan diskusi di kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
Jakarta (PBHI Jakarta) sekedar isi waktu luang. Tidak ada uang tambahan.
Uang satu juta melebihi
uang saku bulanan saya selama kuliah. Sejak saat itu, aku sudah mulai mandiri. Aku
membayar kosan dan makan selama sebulan dari uang satu juta itu. Sejak saat itu
pula aku mulai menabung lagi demi Dunia Sophie dan keperluan lainnya. Biasanya,
aku menabung seratus rupiah per hari. Tiga bulan magang di LeIP aku bisa
membelikan novel dunia sophie itu. Saya bangga ketika bisa membelikan novel Dunia
Sophie dari keringat sendiri dan hasil tabungan tiga bulan. Perjuangan untuk
memilikinya membuat aku semakin terpacu untuk membacanya secara berulang-ulang.
Bahkan, saya selalu puas walau sekedar memandangnya. Bukan karena isinya, tapi
karena perjuangan saya untuk mendapatkan novel itu. Tiga bulan untuk Dunia
Sophie.