Pages

Senin, 08 Juli 2013

EFEK DOMINO KENAIKAN BBM

Suatu pagi, saya naik taxi dari penginapan di Pasar Gede, Yogyakarta ke Marlioboro. Selama perjalanan, sopir taxi selalu mengeluh tentang kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya, pemerintah tidak pernah memikirkan rakyat kecil. "BBM naik, tapi argo taxi belum naik. Kami harus membuang uang banyak untuk isi bensin. Belum lagi memikirkan setoran", kata sopir taxi. Siang harinya, saya ganti taxi. Hal yang sama pun dikeluhkan sopir taxi. "Mas, kami tidak membawa apa-apa pulang ke rumah. Uang yang tadinya untuk upah, malah dipotong beli bensin", katanya. Keesokannya, saya juga naik taxi di Jakarta. Ada sopir taxi yang ga mau pakai argo. Waktu itu, saya mau mengantar adikku untuk test di IISIP, Depok. Sopir taxi minta 100 ribu rupiah, padahal kalau pake argo, bayar paling hanya 50 ribu. Katanya rugi kalau pake argo. Akhirnya saya ganti taxi. Berganti taxi, keluhan tetap sama. BBM naik, tapi argo taxi tidak naik. Sopirnya yang sengsara.

Saya semakin penasaran. Saking penasarannya, tadi pagi saya iseng ke Pasar. Gila, harga daging sapi sudah masuk angka 12o ribu per kilogram. Harga bahan pokok pada naik hampir 50%. Saat ke kantor, saya iseng nanya sopir angkot. Jawabannya lebih serem lagi. Sopir itu ga mau serfis mobil. Sebelum BBM naik, dia rutin menserfis mobil, minimal sekali sebulan. Walaupun sopir itu menaikkan tarif angkutan, tetap tidak cukup karena setoran ke bos pun ikut naik. Lah, apa jadinya kalo angkutan umum itu tidak di servis? Sudah dipastikan kecelakaan akan terjadi. Akan diperparah dengan sifat ugal-ugalan para sopir.

Demi meringankan beban rakyat miskin, pemerintah membagi 'balsem' ke masyarakat. Balsem ini katanya untuk membantu meringankan beban rakyat miskin. Tapi kenyataannya, bukan membantu meringankan malah menyengsarakan masyarakat. Pembagian balsem sangat amburadul, tidak tepat sasaran. Ada yang seharusnya tidak boleh mendapatkan balsem, malah dapat. Sebaliknya, ada yang seharusnya dapat, malah tidak dapat. Masyarakat bahkan rela ngantre berjam-jam di kantor pos untuk mendapatkan balsem. untuk masalah ini, pemerintah saling menyalahkan. Pemerintah daerah menyalahkan pemerintah pusat, dan pemerintah pusa menyalahkan kepala desa. Dalam Koran Sindo Edisi hari ini, Selasa (9/7), Menteri dalam negeri, Gamawan Fauzi menyalahkan kepala desa. Kepala desa dan jajarannya bersalah karena menyerahkan data yang tidak falid. Sengsara, bukan? Apakah rakyat miskin memang sengsara ya? Nasib rakyat miskin begitu kali ya? dijadikan alat politik.

Begitulah efek domino kenaikan harga BBM. menyerang segalah sisi kehidupan. Tapi pemerintah tidak mempunyai solusi untuk mengantisipasi efek domino itu. Masyarakat selalu berada dalam posisi terjepit, dan posisi disengsarakan. Memang susah kalau sebuah negara dikuasai kaum kapitalis. Apa yang saya tulis ini sebenarnya lagu lama. Saya yakin, pemerintah sudah mengetahuinya, tapi sengaja dibiarkan. Namanya juga kapitalis. Terpenting gue untung, lu terserah. Mau sengsara kek, mau teriak kek. Bodo amat. Kira-kira begitulah pendirian pemerintah saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar