Pages

Kamis, 11 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO 74

Di bawah tenda sederhana berwarna biru, duduk dua ratusan pria berkepala plontos beserta wanita berambut 'kepang kuda'. Mereka sedang mendengar ceramah sang pemimpin yang sedang memperkenalkan komunitas yang dipimpinnya. Komunitas itu dikemudian hari kami menamakannya Diponegoro 74. Nama itu diambil dari nama jalan tempat komunitas itu berada. Tepatnya di Jalan Diponegoro nomor 74-76 Jakarta Pusat. Letaknya sangat strategis. Berada di tengah kota Jakarta, di depannya berdiri Rumah Sakit yang sarat sejarah, Cipto Mangunkusumo. Menuju ke Diponegoro 74 tidaklah sulit. Bisa naik apa saja, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Bagi yang naik kereta, bisa turun di stasiun Cikini atau Stasiun Keramat. Kalau naik transjakarta, bisa turun di Halte Salemba UI atau Salemba Karolus, begitu pun kalau naik angkot. Bajaj, oplet, becak, kopaja, metromini, bus pun lewat di Diponegoro 74. Komunitas ini memang milik semua kalangan, tanpa memandang kasta sosial. Begitulah impian Yap Thiam Hien, seorang pendekar hukum saat mendirikan komunitas ini.

Hari itu, awal september, kami menjalankan masa pengenalan kampus. di tempat itu pula aku memulai kehidupanku yang baru. Aku mulai mengenal temanku satu per satu. Saat berkenalan, pertanyaan pertama yang masuk ke telingaku,"marga apa, lae?". Mendadak mukaku memerah, jantungku berdebar kencang menahan marah sekaligus bingung. Aku marah, karena menggunakan kata "lae". Di daerahku, Manggarai, Flores yang di kenal dengan nusa bunga itu, "lae" memiliki arti 'kotor', makian. Kata itu digunakan untuk menunjuk nama lain kelamin pria. Biasa digunakan saat seseorang marah. Aku tersipu malu sekaligus marah ketika mendengar kata marga. Aku pernah mendengar kata itu sebelumnya. Dalam benakku, kata marga itu hanya untuk tempat sekumpulan binatang atau tumbuhan, semisal marga satwa. Benar, hanya itu yang aku kenal. Selebihnya aku tidak kenal. Aku pun bingung menjawab pertanyaan teman-temanku. Aku hanya bisa menyebutkan "Alfeus dari Flores" saat berjabatan tangan.

Seharian penuh kami duduk di bawah tenda itu. Aku tidak ingat lagi apa yang dijelaskan pengajar. Satu hal yang aku ingat, sebelum memulai ospek, kami ibadat menurut ajaran Kristen. Ini pun menjadi hal baru bagiku. Aku berasal dari keluarga Khatolik, sejak kecil sampai SMA berada dalam lingkungan khatolik. Aku merasa asing di tempat itu. Ini benar-benar komunitas baru bagiku. Aku tidak khusuk mengikutinya karena asik berbisik dengan teman baruku. Namanya Beri, Marga Tambunan. Tubunya gempal, wajahnya bulat tapi ganteng. Satu pesan dari Bery yang aku ingat sampai saat ini,”besok jangan lupa bawa golok, kawan”. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku menganggapnya sebagai lelucon.

Keesokan hari, aku kembali ke komunitas itu. Menggunakan celana bahan warna hitam dengan kemeja putih yang dibalut jaket almamater warna biru, aku jalan menyusuri lorong depan ruangan 135 dan 136. Saat melewati ruangan nomor 136, tiba-tiba ada suara teriak memanggil. Aku tidak menoleh, karena suara itu bukan memanggilku. Dia memanggil si botak yang aku pun tidak tahu, siapa si botak itu. Suara itu kembali memanggil dengan lebih keras.”Oi Botak, sini kau!”. Karena tidak ada yang menjawab, orang yang berteriak tadi mendatangiku dari belakang dan menarikku ke dalam ruangan gelap 136. Disitulah aku tahu, kalau akulah yang dia panggil. “Mengapa kau tak jawab tadi?”, tanyanya. “Aku tidak tahu kalau abang memanggil aku”, jawabku. “Kenapa?”, katanya dengan suara teriak yang membuatku sedikit gugup. “Namaku Alfeus, bang. Bukan botak. Aku dari Flores”, jawabku polos. “Tai kau. Siapa yang nanya nama kau? Aku hanya panggil kau si botak karena kepala kau itu botak. Ya sudah, kau pergi beli sigaret dulu satu bungkus buat abang”, perintahnya sambil menyerahkan selembar uang seribu.

“Rokok apa yang harganya seribu rupiah?”tanyaku dalam hati. Seolah mengetahui pertanyaanku, Mr. Goceng menyuruhku membeli rokok Mild. Astaga, mana cukup uang seribu ini membeli rokok yang mahal itu?. Aku keluar dengan penuh tanda tanya. Tanpa memikirkan solusi lain, aku pun segera mencari rokok mild yang harga seribu rupiah itu. Aku sadar, dicari ke mana pun pasti tidak akan ketemu. Satu-satunya solusi, aku harus rela uang jajanku disumbangkan untuk beli rokok. Dengan berat hati, aku mengeluarkan dompetku, kuambil duit sepuluh ribu dan kubeli rokok “mild seribu rupiah” itu. Aku pun kembali ke ruang gelap tadi, dan menyerahkan rokok itu ke Mr. Goceng.

Goceng, bukan nama Aslinyanya. Kata Goceng merupakan gelar yang aku berikan karena kelakuannya. Setiap hari, dia palakin mahasiswa baru. Setiap orang harus kolekan rata lima ribu per orang. Topi yang biasa dia kenakan digunakan untuk mengumpulkan uang lima ribuan itu. Sehari Mr. goceng bisa mendapatkan ratusan ribu. Sembari malakin, Mr. Goceng menanamkan ideology perjuangan komunitas. Dengan suara tinggi nan penuh semangan, Goceng mengajarkan arti penting bela komunitas, harga diri komunitas, ideology tawuran, dan lain sebagainya.

Suatu siang, kami dikumpulkan dalam suatu ruangan. Kebetulan hari itu masih minggu pertama kuliah. Biasanya, meinggu pertama kuliah jarang ada dosen yang masuk. Telah menjadi sebuah tradisi yang tidak tahu penyebabnya. Di ruangan 209, cahaya lampu remang-remang dengan udara AC yang dingin, sekelompok gundik yang merasa diri senior memaksa kami membuka baju. Katanya, mereka mau mastiin tidak boleh ada yang pakai tato. Kami telanjang dada di depan mahasiswi yang ikut dikumpul. Sambil telanjang dada kami disuruh push up sebanyak dua puluh kali. Dalam nafar yang ngos-ngosan setalah push up, kami dipaksa makan permen. Satu permen untuk 40 orang. Caranya, permen itu diemut, kemudian dipindahkan ke mulut orang lain tanpa bantuan. Transaksi antarmulut. Menjijikan. Temanku menjatuhkan permen itu ke lantai, dan dipaksa memungutnya pakai mulut dan dipindahkan kemulut orang lain. Orang terakhir harus menghabiskan permen itu. Menurut Goceng, apa yang kami lakukan melambang kesatuan dan kebersamaan. Susah senang ditanggung bersama, dan bersama melawan ketidak adilan. Satu kata: lawan!.


Kata “lawan” biasanya diawali dengan tepukan “Viva UKI”. Ketika ada orang yang mengkomandoi “Viva UKI”, maka setiap mahasiswa/mahasiswi serempak melakukan tepukan tangan berirama layaknya tepuk pramuka. Tepukan itu dipercayai memacu semangat juang dan member nuansa kekompakan serasa senasib.

Bersambung....

1 komentar: