Perpustakaan Tempat Nongkrong
Berjalan kaki dari
Kramat Sentiong ke Diponegoro 74 sudah menjadi kebiasaanku. Tidak bermaksud
olahraga seperti yang dilakukan kebanyakan orang saat ini, tetapi untuk
menghemat jatah bulanan. Tidak ada jatah uang angkot. Uang bulanan yang
kuterima dari kakakku cukup untuk bayar kos-kosan dan uang makan sebulan. Aku
mendapat uang saku lima ratus ribu per bulan. Tiga ratus ribu untuk bayar
kosan, dua ratus ribu untuk makan, fotokopi, beli buku, dan keperluan lainnya. Untuk
menghemat, setiap pagi harus puasa, siang makan nasi-sayur-tempe. Menu yang
sama pun berulang saat makan malam. Cukup lima ribu untuk makan siang dan
malam. Masuk pertengahan minggu ketiga dalam bulan, uang dua ratus ribu pun
habis. Beruntung, aku bergaul dengan banyak orang. Mereka biasanya memberikan
aku pekerjaan.
Pekerjaan yang
diberikan berupa makalah. Di UKI, hampir setiap hari mahasiswa mendapat tugas
menulis makalah. Bagi mahasiswa yang rajin, menulis makalah menjadi pekerjaan
yang menarik. Sedangkan bagi yang malas,menulis makalah merupakan bencana.
Untuk mendapatkan nilai, terpaksa mereka membayar tenaga orang. Aku selalu
memanfaatkan situasi ini. Aku menjadi “joki” makalah. Aku tidak memasang
standar harga. Aku hanya ikhlas menulis dan mengambil manfaat positif. Aku
mendapat dua manfaat sekaligus. Satu sisi pengetahuanku bertambah karena
dipaksa untuk membaca banyak, di sisi lain aku mendapat insentif. Satu
matakuliah biasanya aku bisa mendapat dua ratus ribu. Itu sudah bersih, karena
print dan jilid ditanggung. Tugasku hanya membaca dan dan membaca serta
menulis. Hampir semua waktu ku korbankan untuk membaca dan menulis makalah. Dengan
demikian, perpustakaan menjadi tempatku bermain, sekaligus tempat pelarian yang
nyaman.
Dalam perpustakaan,
tidak ada yang mempedulikan kita. Senior-seniorku yang ada diperpustakaan sibuk
dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka tidak merasa risih dengan
kehadiran mahasiswa baru seperti saya. Tidak ada senioritas. Malah mereka
bangga kalau ada mahasiswa apalagi mahasiswa baru yang nongkrong di
perpustakaan.
Perpustakaan FH UKI
terbagi dalam tiga ruangan. Ketika kita masuk perpustakaan ini, kita akan
disambut ruangan yang cukup besar. Bentuk mejanya seperti model restoran. Satu
meja ada delapan kursi. Di sebelah kanan pintu masuk disediakan catalog. Sebelah kiri ada dua buah computer yang di
sampingnya terdapat meja informasi untuk mencari tahu buku yang akan di pinjam.
Ruangan ini biasa digunakan untuk diskusi. Masuk lebih ke tengah perpustakaan,
akan dijumpai ruangan yang lebih kecil dari ruangan depan. Meja dalam ruangan
disekat, satu orang satu meja. Berbeda dengan ruangan sebelumnya, ruangan
tengah ini sangat tenang. Di depan pitu ruangan ini di sediakan Koran berbagai
media cetak. Ruangan ini sering digunakan untuk baca-baca. Tidak diperkenankan
diskusi dalam ruangan baca ini. Lebih ke dalam lagi, kita akan menjumpai
orang-orang yang sedang sibuk dengan laptop, buku atau pun skripsi. Mereka
tidak peduli dengan kehadiran orang di sekitarnya. Ruangan ini biasa digunakan
mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Di atas pintu masuk ruangan
ini dituliskan “ruangan skripsi”.
Suatu siang, saat
semua mahasiswa baru hendak pulang ke rumah masing-masing, gerbang kampus
tiba-tiba ditutup. Kami sama sekali tidak bisa keluar dari kampus. Dalam
situasi itu, aku pun giat mencari informasi. Dalam hitungan menit, informasi
yang kucari pun tersebar dengan cepat. Ada rencana tawuran dengan Satpol PP.
Saat mahasiswa lain sudah mulai panic, aku malah tenang. Aku tau tempat
persembunyian yang paling amin. Tanpa berpikir panjang, aku mencari celah di
tengah kerumunan para mahasiswa, dan menyelinap ke perpustakaan. Di
perpustakaan aku bersembunyi sambil membaca. Bangku di sudut ruangan tengah
menjadi tempat favoritku. Di situ aku bisa membaca Koran, buku, novel atau
sekedar menghayal. Aku tidak memikirkan lagi apa yang terjadi di luar ruangan
perpustakaan itu. Namun, sesekali aku tetap mendengar teriakan orang yang
sedang tawuran. Tidak ada sedikit pun niat untuk bergabung dalam tawuran. Aku
hanya fokus pada buku yang ada di hadapanku. Saking sibuk membaca sampai aku
tidak sadar kalau ada orang yang sedang menghampiriku. Dia senior setahun di
atas aku. Aku panik, dan langsung saja jantung terasa copot. Pikiranku langsung
tertuju pada kontrak “Mahasiswa baru tidak boleh nongkrong di dalam kampus
selama enam bulan”. Seolah mengetahui perasaanku, dia dengan ramahnya menyapaku
dan memperkenalkan diri.
“Halo de, namaku
Gusti. Aku angkatan 2006. Namamu siapa?”, katanya ramah
“Halo Kak. Namaku
Alfeus, dari Flores”, jawabku berusaha ramah
“Kamu senang membaca
ya”.
“Hhhmm ga juga kak.
Terkadang malas juga”
“Kamu sudah daftar di
unit kegiatan mahasiswa?”
“Belum, kak”.
“Besok, ketemu saya
di secretariat FDIM ya. Di samping ruangan senat mahasiswa, depan kantin, dekat
lapangan futsal. Siapa tau kamu tertarik dengan UKM kami”, ajaknya.
Dari situlah aku
mulai mengenal Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fakultas Hukum UKI. Besoknya,
setelah selesai kuliah, aku langsung ke secretariat Forum Diskusi Ilmiah
Mahasiswa (FDIM). Aku diterima dengan hangat, seolah sebelumnya sudah
berkenalan. Hampir seharian aku nongkrong di sekretarian. Lagi-lagi, di sini
tidak ada senioritas. Kekerasan tidak berlaku. Hanya kreatifitas yang
dibutuhkan, dan keterbukan untuk saling belajar dan berdiskusi. Sejak saat itu
aku mulai berkenalan dengan teman baru, dengan para seniorku, dan tempat
nongkrong baru. Tapi aku tetap tidak
melupakan perpustakaan. Perpustakaan telah menjadi kosan kedua bagiku. Kalau
tidak ada kegiatan kampus, aku selalu ada di perpustakaan. Selain perpustakaan
fakultas, tempat nongkrong favoritku lainnya yaitu perpustakaan nasional.
Jaraknya tidak jauh dari kampusku. Sekitar 200an meter. Kalau buku yang aku
cari tidak kutemukan di perpustakaan fakultas, solusinya pasti ada
diperpustakaan nasional. Ini salah satu alasan mengapa aku mulai betah di FH
UKI. Tempat yang sangat strategis. Ke mana-mana dekat. Fasilitas sangat
mendukung. Perpustakaan nasional menjadi kampus keduaku. Hampir setiap hari aku
berada di lantai tiga perpusnas yang ada di jalan salemba raya itu. Kebiasaan wisata
perpustakaan itu berulang dan berjalan selama tujuh semester di FH UKI.
Teman-temanku tidak sulit mencariku. Kalau tidak menemukan aku di perpustakaan,
mereka pasti mencari aku di sekretariat Peradilan Semu, Komunitas yang aku
dirikan bersama teman-temanku.
0 komentar:
Posting Komentar