Pages

Selasa, 16 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO 74 (2)

Perpustakaan Tempat Nongkrong

Berjalan kaki dari Kramat Sentiong ke Diponegoro 74 sudah menjadi kebiasaanku. Tidak bermaksud olahraga seperti yang dilakukan kebanyakan orang saat ini, tetapi untuk menghemat jatah bulanan. Tidak ada jatah uang angkot. Uang bulanan yang kuterima dari kakakku cukup untuk bayar kos-kosan dan uang makan sebulan. Aku mendapat uang saku lima ratus ribu per bulan. Tiga ratus ribu untuk bayar kosan, dua ratus ribu untuk makan, fotokopi, beli buku, dan keperluan lainnya. Untuk menghemat, setiap pagi harus puasa, siang makan nasi-sayur-tempe. Menu yang sama pun berulang saat makan malam. Cukup lima ribu untuk makan siang dan malam. Masuk pertengahan minggu ketiga dalam bulan, uang dua ratus ribu pun habis. Beruntung, aku bergaul dengan banyak orang. Mereka biasanya memberikan aku pekerjaan.

Pekerjaan yang diberikan berupa makalah. Di UKI, hampir setiap hari mahasiswa mendapat tugas menulis makalah. Bagi mahasiswa yang rajin, menulis makalah menjadi pekerjaan yang menarik. Sedangkan bagi yang malas,menulis makalah merupakan bencana. Untuk mendapatkan nilai, terpaksa mereka membayar tenaga orang. Aku selalu memanfaatkan situasi ini. Aku menjadi “joki” makalah. Aku tidak memasang standar harga. Aku hanya ikhlas menulis dan mengambil manfaat positif. Aku mendapat dua manfaat sekaligus. Satu sisi pengetahuanku bertambah karena dipaksa untuk membaca banyak, di sisi lain aku mendapat insentif. Satu matakuliah biasanya aku bisa mendapat dua ratus ribu. Itu sudah bersih, karena print dan jilid ditanggung. Tugasku hanya membaca dan dan membaca serta menulis. Hampir semua waktu ku korbankan untuk membaca dan menulis makalah. Dengan demikian, perpustakaan menjadi tempatku bermain, sekaligus tempat pelarian yang nyaman.

Dalam perpustakaan, tidak ada yang mempedulikan kita. Senior-seniorku yang ada diperpustakaan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka tidak merasa risih dengan kehadiran mahasiswa baru seperti saya. Tidak ada senioritas. Malah mereka bangga kalau ada mahasiswa apalagi mahasiswa baru yang nongkrong di perpustakaan.

Perpustakaan FH UKI terbagi dalam tiga ruangan. Ketika kita masuk perpustakaan ini, kita akan disambut ruangan yang cukup besar. Bentuk mejanya seperti model restoran. Satu meja ada delapan kursi. Di sebelah kanan pintu masuk disediakan catalog.  Sebelah kiri ada dua buah computer yang di sampingnya terdapat meja informasi untuk mencari tahu buku yang akan di pinjam. Ruangan ini biasa digunakan untuk diskusi. Masuk lebih ke tengah perpustakaan, akan dijumpai ruangan yang lebih kecil dari ruangan depan. Meja dalam ruangan disekat, satu orang satu meja. Berbeda dengan ruangan sebelumnya, ruangan tengah ini sangat tenang. Di depan pitu ruangan ini di sediakan Koran berbagai media cetak. Ruangan ini sering digunakan untuk baca-baca. Tidak diperkenankan diskusi dalam ruangan baca ini. Lebih ke dalam lagi, kita akan menjumpai orang-orang yang sedang sibuk dengan laptop, buku atau pun skripsi. Mereka tidak peduli dengan kehadiran orang di sekitarnya. Ruangan ini biasa digunakan mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Di atas pintu masuk ruangan ini dituliskan “ruangan skripsi”.

Suatu siang, saat semua mahasiswa baru hendak pulang ke rumah masing-masing, gerbang kampus tiba-tiba ditutup. Kami sama sekali tidak bisa keluar dari kampus. Dalam situasi itu, aku pun giat mencari informasi. Dalam hitungan menit, informasi yang kucari pun tersebar dengan cepat. Ada rencana tawuran dengan Satpol PP. Saat mahasiswa lain sudah mulai panic, aku malah tenang. Aku tau tempat persembunyian yang paling amin. Tanpa berpikir panjang, aku mencari celah di tengah kerumunan para mahasiswa, dan menyelinap ke perpustakaan. Di perpustakaan aku bersembunyi sambil membaca. Bangku di sudut ruangan tengah menjadi tempat favoritku. Di situ aku bisa membaca Koran, buku, novel atau sekedar menghayal. Aku tidak memikirkan lagi apa yang terjadi di luar ruangan perpustakaan itu. Namun, sesekali aku tetap mendengar teriakan orang yang sedang tawuran. Tidak ada sedikit pun niat untuk bergabung dalam tawuran. Aku hanya fokus pada buku yang ada di hadapanku. Saking sibuk membaca sampai aku tidak sadar kalau ada orang yang sedang menghampiriku. Dia senior setahun di atas aku. Aku panik, dan langsung saja jantung terasa copot. Pikiranku langsung tertuju pada kontrak “Mahasiswa baru tidak boleh nongkrong di dalam kampus selama enam bulan”. Seolah mengetahui perasaanku, dia dengan ramahnya menyapaku dan memperkenalkan diri.

“Halo de, namaku Gusti. Aku angkatan 2006. Namamu siapa?”, katanya ramah
“Halo Kak. Namaku Alfeus, dari Flores”, jawabku berusaha ramah
“Kamu senang membaca ya”.
“Hhhmm ga juga kak. Terkadang malas juga”
“Kamu sudah daftar di unit kegiatan mahasiswa?”
“Belum, kak”.
“Besok, ketemu saya di secretariat FDIM ya. Di samping ruangan senat mahasiswa, depan kantin, dekat lapangan futsal. Siapa tau kamu tertarik dengan UKM kami”, ajaknya.


Dari situlah aku mulai mengenal Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fakultas Hukum UKI. Besoknya, setelah selesai kuliah, aku langsung ke secretariat Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa (FDIM). Aku diterima dengan hangat, seolah sebelumnya sudah berkenalan. Hampir seharian aku nongkrong di sekretarian. Lagi-lagi, di sini tidak ada senioritas. Kekerasan tidak berlaku. Hanya kreatifitas yang dibutuhkan, dan keterbukan untuk saling belajar dan berdiskusi. Sejak saat itu aku mulai berkenalan dengan teman baru, dengan para seniorku, dan tempat nongkrong baru.  Tapi aku tetap tidak melupakan perpustakaan. Perpustakaan telah menjadi kosan kedua bagiku. Kalau tidak ada kegiatan kampus, aku selalu ada di perpustakaan. Selain perpustakaan fakultas, tempat nongkrong favoritku lainnya yaitu perpustakaan nasional. Jaraknya tidak jauh dari kampusku. Sekitar 200an meter. Kalau buku yang aku cari tidak kutemukan di perpustakaan fakultas, solusinya pasti ada diperpustakaan nasional. Ini salah satu alasan mengapa aku mulai betah di FH UKI. Tempat yang sangat strategis. Ke mana-mana dekat. Fasilitas sangat mendukung. Perpustakaan nasional menjadi kampus keduaku. Hampir setiap hari aku berada di lantai tiga perpusnas yang ada di jalan salemba raya itu. Kebiasaan wisata perpustakaan itu berulang dan berjalan selama tujuh semester di FH UKI. Teman-temanku tidak sulit mencariku. Kalau tidak menemukan aku di perpustakaan, mereka pasti mencari aku di sekretariat Peradilan Semu, Komunitas yang aku dirikan bersama teman-temanku.

0 komentar:

Posting Komentar