Pulau Lombok terkenal dengan panorama alam yang indah.
Keindahan pantainya menggoda semua orang. Pantai Kuta, Senggigi, dan Gili Trawangan.
Pasirnya putih, lautnya biru bersih. Pantai Pink yang menyajikan pasir warna Pink.
Wisata ke Lombok, tidak akan lengkap kalau tidak mengunjungi kampung adat suku
sasak. Terletak di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
Suku Sasak adalah penduduk asli juga mayoritas di
Pulau Lombok, NTB. Mantapencaharian bertani. Konon, kebudayaan masyarakat
terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam
kitab ini, Suku Sasak dimaksud “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi”. Pada abad 18,
Lombok diserang dan ditaklukan oleh pasukan gabungan kerajaan karang asem dari
bali. Akhibatnya, muncul kultur atau corak budaya khas bali.
Suku sasak merupakan akulturasi dari pengaruh islam, Hindu,
budaya jawa dan bali. Namun demikian, suku sasak memiliki corak kebudayaan asli
yang mapan dan berbeda dari budaya suku-suku lain. Kebudayaan Suku Sasak terekam
pada bentuk rumah. Desa suku sasak paling kuno adalah desa Bayan, terletak di
kaki gunung rinjani yang merupakan kubu watu telu. Tetapi yang sering
dikunjungi wisatawan adalah desa sade.
Awal Januari 2015, saya mengunjungi kampung adat suku Sasak.
Menempuh jarak sekitar 20 menit dari Bandara Internasional Lombok Praya. Kami disambut
senyum ramah seorang pemandu wisata lokal yang mengenakan baju koko warna
orange, bawahannya sarung kotak-kotak warna hitam. Khas suku Sasak. Namanya Rosihan.
Setiap wisatawan yang mengunjungi Desa Sade, wajib dipandu oleh guide lokal. Dibayar sukarela.
Rosihan memandu kami mengelilingi kampung Suku Sasak. Menyusuri
lorong-lorong rumah yang lebarnya satu meter. Di depan rumah, kiri kanan jalan,
dipajang hasil karya masyarakat suku sasak. Mutiara, gelang, gantungan kunci,
dain tenunan. Pemilik lapak menawarkan karnyanya setiap kami lewat.
“Kainnya mas, oleh-oleh untuk orang di rumah”
“Gelangnya, mas. Murah. Bisa ditawar”
Kami hanya tersenyum. Sesekali melirik, memegang dan kadang
menawar harga. Rosihan tetap asik memberikan penjelasan. Tidak peduli wisatawan
mendengar atau tidak. Dia membawa kami ke salah satu rumah.
Rumah suku sasak memiliki bentuk seperti topi. Atap
dan bubungannya (bungus) terbuat dari
alang-alang. Dinding dari anyaman bambu (bedek). Lantai rumah dibuat dari tanah
liat yang dicampur denganserbuk jerami dan kotoran kerbau. Memiliki tiga
ruangan (rong), yaitu: inak bale (ruang induk), bale dalam, dan
ruang ibu melahirkan. Inak bale
digunakan sebaik ruang tidur. Bale dalam, tempat menyimpan harta benda. Dilengkapi
amben, dapur, sempare (lokasi menyimpan makanan dengan peralatan
rumah tangga yang lain) terbuat dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau 4
persegi panjang. Sempare diletakkan
diatas, posisi menggantung di langit-langit atap.
Setelah memberi penjelasan tentang bentuk rumah, Rosihan
menunjukan rumah khusus honeymoon.
“Dusun Sade memiliki 150 rumah, 700 warga”
“Tiga dari 150 rumah tersebut adalah rumah untuk bulan madu (honeymoon)”
“Ini salah satu rumah bulan madu”
Ukurannya kecil. Sekitar 4x3 meter persegi. Pria dan
wanita yang baru menikah, wajib tinggal di rumah honeymoon selama tiga hari pertama. Seorang perempuan baru bisa
kawin jika sudah pandai menenun.
Menurut penjelasan Rosihan, suku mengenal sistem kawin
culik. Membawa lari gadis pujaan tidak perlu memberitahukan kepada kedua
orangtuanya. Kawin culik ini akan berlangsung setelah si gadis memilih satu di
antara kekasih-kekasihnya. Mereka akan membuat suatu kesepakatan kapan
penculikan bisa dilakukan. Perjanjian atau kesepakatan antara seorang gadis
sebagai calon istri oleh penculiknya ini harus benar-benar dirahasiakan.
Penasaran. Saya melengkapi informasi dengan membaca
diinternet. Menurut bahan yang saya baca, penculikan harus dilakukan malam
hari. Dikhawatirkan penculikan pada siang hari akan mudah diketahui oleh orang
banyak termasuk juga rival-rival dari sang penculik. Penculikan ini pun harus
dirahasiakan. Jangan sampai bocor ke telinga orang tua sang gadis. Kalau saja
kemudian setelah mengetahui orang tuanya tidak setujui anaknya untuk menikah,
di sini orang tua baru boleh bertindak untuk menjodohkan anak gadisnya dengan
pilihan mereka. Keadaan ini yang disebut Pedait.
Bilamana seorang gadis berhasil diculik, maka pada
malam itu juga dilanjutkan dengan acara mangan merangkat. Suatu upacara adat
yang menyambut kedatangan si gadis di rumah calon suaminya. Upacara peresmian
masuknya di gadis dalam keluarga calon suaminya. Diawali dengan totok telok. Calon
mempelai memecahkan telur bersama-sama pada perangkat (sesajen) yang telah
disediakan. Totok telok adalah lambang kesanggupan calon mempelai untuk hidup
dengan istrinya dalam bahtera rumah tangga.
Pagi harinya, keluarga pria mendatangi rumah orang tua
sang gadis. Memberitahukan bahwa anak gadisnya dipersunting oleh anaknya.
Peristiwa datangnya keluarga sang lelaki ini disebut dengan Masejatik atau Nyelabar. Membicarakan kelajutan upacara-upacara adat perkawinan
serta segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perkawinan.
Pertama-tama harus diselesaikan adalah acara akad
nikah. Pada waktu akad nikah, orang tua si gadis memberikan kesaksian di
hadapan penghulu desa dan pemuka-pemuka masyarakat serta para tokoh adat
lainnya. Jika orang tua si gadis berhalangan, ia dapat menunjuk seseorang untuk
mewakilinya.
Acara ini berpuncak pada adat perkawinan yang disebut
dengan sorong doe: keluarga mempelai
pria mendangi rumah mempelai wanita. Kedatangan rombongan sorong doe ini disebut nyongkol.
Mengajukan dana yang diminta oleh orang tua sang gadis untuk menyambut para
penyongkol yang disebut dengan kepeng
tagih (uang tagihan). Uang tagih lainnya berupa kepeng pelengkak, yaitu uang tagih dari kakak laki-laki mempelai
wanita yang belum menikah.
Cerita perkawinan suku sasak sangat menarik. Tidak terasa,
kami menghabiskan waktu dua jam. Waktu menunjukan pukul dua belas siang. Perut pun
mulai lapar. Kami mau mengakhiri petualangan Suku Sasak dengan menikmati
masakan khas Sasak. Sebab tidak lengkap kalau tidak menikmati pedasnya masakan
pulau Lombok.
Ahyar. Sopir sekaligus guide kami selama di Pulau Lombok. Dia membawa kami menyusuri jalur
Mataram-Praya. Menuju nasi Balap Puyung ‘Inaq Esun’. Nasi putih, suwir ayam
bumbu pedas, suwir ayam kering, dan kacang kedelai goreng. Sebuah hidangan
sederhana dengan cita rasa luar biasa. Rumah makan Inag Esun, menyempil di
dalam sebuah gang, sekitar 150 meter dari jalan raya. Suasana di dalam kedai terasa
panas dan sedikit pengap. Namun, tak mengurangi antusiasme pengunjung untuk
mencicipi menu kuliner wajib ini.
Harga per porsi sekitar Rp. 15.000. nikmatnya luar
biasa. Pedas, gurih, renyah dan lembut
campur menjadi satu. Harum rempah
menyeruak dalam tiap kunyah. Ada ketagihan untuk terus menghabiskan hidangan di
piring beralas daun pisang ini. Saya bukan penikmat pedas. Tapi sanggup
menghabiskan satu porsi penuh. Tak gentar akibatnya nanti.Masyarakat suku sasak merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai kini. Suku sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat, tetapi juga merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia.