Pages

Senin, 19 Januari 2015

Suku Sasak

Pulau Lombok terkenal dengan panorama alam yang indah. Keindahan pantainya menggoda semua orang. Pantai Kuta, Senggigi, dan Gili Trawangan. Pasirnya putih, lautnya biru bersih. Pantai Pink yang menyajikan pasir warna Pink. Wisata ke Lombok, tidak akan lengkap kalau tidak mengunjungi kampung adat suku sasak. Terletak di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
Suku Sasak adalah penduduk asli juga mayoritas di Pulau Lombok, NTB. Mantapencaharian bertani. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab ini, Suku Sasak dimaksud “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi”. Pada abad 18, Lombok diserang dan ditaklukan oleh pasukan gabungan kerajaan karang asem dari bali. Akhibatnya, muncul kultur atau corak budaya khas bali.
Suku sasak merupakan akulturasi dari pengaruh islam, Hindu, budaya jawa dan bali. Namun demikian, suku sasak memiliki corak kebudayaan asli yang mapan dan berbeda dari budaya suku-suku lain. Kebudayaan Suku Sasak terekam pada bentuk rumah. Desa suku sasak paling kuno adalah desa Bayan, terletak di kaki gunung rinjani yang merupakan kubu watu telu. Tetapi yang sering dikunjungi wisatawan adalah desa sade.
Awal Januari 2015, saya mengunjungi kampung adat suku Sasak. Menempuh jarak sekitar 20 menit dari Bandara Internasional Lombok Praya. Kami disambut senyum ramah seorang pemandu wisata lokal yang mengenakan baju koko warna orange, bawahannya sarung kotak-kotak warna hitam. Khas suku Sasak. Namanya Rosihan. Setiap wisatawan yang mengunjungi Desa Sade, wajib dipandu oleh guide lokal. Dibayar sukarela.
Rosihan memandu kami mengelilingi kampung Suku Sasak. Menyusuri lorong-lorong rumah yang lebarnya satu meter. Di depan rumah, kiri kanan jalan, dipajang hasil karya masyarakat suku sasak. Mutiara, gelang, gantungan kunci, dain tenunan. Pemilik lapak menawarkan karnyanya setiap kami lewat.
“Kainnya mas, oleh-oleh untuk orang di rumah”
“Gelangnya, mas. Murah. Bisa ditawar”
Kami hanya tersenyum. Sesekali melirik, memegang dan kadang menawar harga. Rosihan tetap asik memberikan penjelasan. Tidak peduli wisatawan mendengar atau tidak. Dia membawa kami ke salah satu rumah.
Rumah suku sasak memiliki bentuk seperti topi. Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang. Dinding dari anyaman bambu (bedek). Lantai rumah dibuat dari tanah liat yang dicampur denganserbuk jerami dan kotoran kerbau. Memiliki tiga ruangan (rong), yaitu: inak bale (ruang induk), bale dalam, dan ruang ibu melahirkan. Inak bale digunakan sebaik ruang tidur. Bale dalam, tempat menyimpan harta benda. Dilengkapi amben, dapur, sempare  (lokasi menyimpan makanan dengan peralatan rumah tangga yang lain) terbuat dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau 4 persegi panjang. Sempare diletakkan diatas, posisi menggantung di langit-langit atap.
Setelah memberi penjelasan tentang bentuk rumah, Rosihan menunjukan rumah khusus honeymoon.
“Dusun Sade memiliki 150 rumah, 700 warga”
“Tiga dari 150 rumah tersebut adalah rumah untuk bulan madu  (honeymoon)”
“Ini salah satu rumah bulan madu”
Ukurannya kecil. Sekitar 4x3 meter persegi. Pria dan wanita yang baru menikah, wajib tinggal di rumah honeymoon selama tiga hari pertama. Seorang perempuan baru bisa kawin jika sudah pandai menenun.
Menurut penjelasan Rosihan, suku mengenal sistem kawin culik. Membawa lari gadis pujaan tidak perlu memberitahukan kepada kedua orangtuanya. Kawin culik ini akan berlangsung setelah si gadis memilih satu di antara kekasih-kekasihnya. Mereka akan membuat suatu kesepakatan kapan penculikan bisa dilakukan. Perjanjian atau kesepakatan antara seorang gadis sebagai calon istri oleh penculiknya ini harus benar-benar dirahasiakan.
Penasaran. Saya melengkapi informasi dengan membaca diinternet. Menurut bahan yang saya baca, penculikan harus dilakukan malam hari. Dikhawatirkan penculikan pada siang hari akan mudah diketahui oleh orang banyak termasuk juga rival-rival dari sang penculik. Penculikan ini pun harus dirahasiakan. Jangan sampai bocor ke telinga orang tua sang gadis. Kalau saja kemudian setelah mengetahui orang tuanya tidak setujui anaknya untuk menikah, di sini orang tua baru boleh bertindak untuk menjodohkan anak gadisnya dengan pilihan mereka. Keadaan ini yang disebut Pedait.
Bilamana seorang gadis berhasil diculik, maka pada malam itu juga dilanjutkan dengan acara mangan merangkat. Suatu upacara adat yang menyambut kedatangan si gadis di rumah calon suaminya. Upacara peresmian masuknya di gadis dalam keluarga calon suaminya. Diawali dengan totok telok. Calon mempelai memecahkan telur bersama-sama pada perangkat (sesajen) yang telah disediakan. Totok telok adalah lambang kesanggupan calon mempelai untuk hidup dengan istrinya dalam bahtera rumah tangga.
Pagi harinya, keluarga pria mendatangi rumah orang tua sang gadis. Memberitahukan bahwa anak gadisnya dipersunting oleh anaknya. Peristiwa datangnya keluarga sang lelaki ini disebut dengan Masejatik atau Nyelabar. Membicarakan kelajutan upacara-upacara adat perkawinan serta segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perkawinan.
Pertama-tama harus diselesaikan adalah acara akad nikah. Pada waktu akad nikah, orang tua si gadis memberikan kesaksian di hadapan penghulu desa dan pemuka-pemuka masyarakat serta para tokoh adat lainnya. Jika orang tua si gadis berhalangan, ia dapat menunjuk seseorang untuk mewakilinya.
Acara ini berpuncak pada adat perkawinan yang disebut dengan sorong doe: keluarga mempelai pria mendangi rumah mempelai wanita. Kedatangan rombongan sorong doe ini disebut nyongkol. Mengajukan dana yang diminta oleh orang tua sang gadis untuk menyambut para penyongkol yang disebut dengan kepeng tagih (uang tagihan). Uang tagih lainnya berupa kepeng pelengkak, yaitu uang tagih dari kakak laki-laki mempelai wanita yang belum menikah.
Cerita perkawinan suku sasak sangat menarik. Tidak terasa, kami menghabiskan waktu dua jam. Waktu menunjukan pukul dua belas siang. Perut pun mulai lapar. Kami mau mengakhiri petualangan Suku Sasak dengan menikmati masakan khas Sasak. Sebab tidak lengkap kalau tidak menikmati pedasnya masakan pulau Lombok.
Ahyar. Sopir sekaligus guide kami selama di Pulau Lombok. Dia membawa kami menyusuri jalur Mataram-Praya. Menuju nasi Balap Puyung ‘Inaq Esun’. Nasi putih, suwir ayam bumbu pedas, suwir ayam kering, dan kacang kedelai goreng. Sebuah hidangan sederhana dengan cita rasa luar biasa. Rumah makan Inag Esun, menyempil di dalam sebuah gang, sekitar 150 meter dari jalan raya. Suasana di dalam kedai terasa panas dan sedikit pengap. Namun, tak mengurangi antusiasme pengunjung untuk mencicipi menu kuliner wajib ini.
Harga per porsi sekitar Rp. 15.000. nikmatnya luar biasa. Pedas, gurih, renyah dan lembut
campur menjadi satu. Harum rempah menyeruak dalam tiap kunyah. Ada ketagihan untuk terus menghabiskan hidangan di piring beralas daun pisang ini. Saya bukan penikmat pedas. Tapi sanggup menghabiskan satu porsi penuh. Tak gentar akibatnya nanti.

Masyarakat suku sasak merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai kini. Suku sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat, tetapi juga merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia.

Kamis, 06 Februari 2014

Menikmati Banjir Di Jalan Murdai

Waaah, sudah lama halaman ini tidak diisi lagi. Sejak posting terakhir bulan September 2013, tidak ada moot baik untuk menulis. selain kekuarangan ide, juga tumbuh rasa malas. Inilah tantangan bagi seorang yang mau menjadi penulis. Tidak ada cara lain untuk keluar dari rasa demikian selain memotifasi diri dan banyak membaca. Hari ini saya akan berusaha bangkit, menyemangati diri. bagaimana pun, kegiatan menulis katanya sangat menyenangkan. karenanya saya mau tumbuhkan kembalai asa yang pernah ada.

Kali ini saya akan berbagi cerita tentang banjir dua hari yang lalu. Rabu, 5 Februari 2014, hujan mengguyur Kota Jakarta sejak malam hingga menjelang siang. akhibatnya, banjir tidak bisa dihindarkan. Daerah tempat tinggalku, Jl. Murdai, Kecamatan Cempaka Putih, tidak luput. Banjir selutut mengubah jalan raya menjadi kolam renang. Anak-anak dilingkungan ramai-ramai keluar dari rumah menikmati banjir, berenang, dan hujan-hujanan. Aku pun tidak tinggal diam. Tidak mau melewatkan momen indah itu, saya turun dengan mengenakan celana pendek, kaus oblong, dan payung sambil menenteng kamera. semua momet indah aku potret. Momen itu sungguh menyenangkan sekaligus ketakutan.

Takut karena air yang semakin meninggi bisa-bisa menerobos masuk rumah kecilku. Urusannya bakal ribet. Buku, kompor, pakaian, dan seluruh perlengkapan rumah akan berantakan. Untung apa yang saya takutkan itu tidak terjadi. Jadilah aku hanya menikmati banjir, sampai akhirnya harus berangkat ke kantor.

Senin, 30 September 2013

TIP BERENANG BAGI PEMULA

Selamat berjumpa kembali para pembaca setia “leteleso.blogspot.com”. senang bisa bertemu kembali dengan anda. Maafkan aku, karena dua bulan belakangan aku tidak menjumpai kalian. Selain karena kesibukan, alasan yang lain terutama soal ide dan semangat. Terkadang, saya susah menemukan ide. Selain itu, semangat menulis juga ikut menurun. Padaha, banyak kegiatan yang seharusnya saya bisa bagikan. Misalnya, pengalaman saya ke Pulau Harapan di Kepulauan Seribu, Tragedi Kompetisi Futsal, dan lainnya. Namun kali ini saya berusaha melawan kemalasan dan berusaha membangkitkan kembali semangat yang pernah tumbuh menggebu dalam diriku. Izinkan aku kali ini membagi pengalaman mengenai cara berenang.

Tulisan ini ditujukan secara khusus bagi para pemula. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi para senior dalam dunia renang. Aku membaginya di sini berdasarkan apa yang aku alamai dan pelajari. Aku sebenarnya belum mahir dalam renang. Aku masih dalam tahap belajar. Dengan hasrat yang tinggi untuk bisa berenang, aku mulai belajar renang beberapa bulan lalu. Dengan hasrat yang sama pula, aku ingin membagikannya kepada pencinta “Diary”. Tulisan ini saya ambil dari berbagai sumber. Selamat membaca ya, semoga bermanfaat.

Berenang, dipercayai bermanfaat dalam kehidupan kita. Selain membuat badan kita sehat, rileks, tak sedikit yang mengatakan bahwa renang juga dapat meninggikan badan kita. Berikut saya bagikan teknis dasar berenang.

Pemanasan

Sebagai kegian yang banyak menguras tenaga, sebelum berenang sebaiknya melakukan gerakan pemanasan dan peregangan. Pemanasan dan peregangan dilakukan untuk meningkatkan suhu tubuh dan meregangkan otot gerak demi menghindari kram ataupun cedera lainnya saat kita berada dalam air. Gerakan mulai dari kaki hingga kepala.

Pengenalan Air

Sebelum memulai mempelajari gaya-gaya renang, hendaknya kita terlebih dahulu memahami bentuk-bentuk pengenalan air. Hal ini sangat di perlukan terutama bagi mereka yang kurang berani masuk air atau anak-anak yang berumur di bawah 10 tahun. Dari pengalaman telah membuktikan, bahwa cara ini ternyata dapat menolong yang mempelajari gaya-gaya renang pertandingan untuk dapat lebih menguasai gerakan-gerakan dasarnya. Pada saat pengenalan air, dapat di berikan 3 hal penting yaitu: pernafasan, meluncur, mengapung. Ketiga hal tersebut di atas, bila dijadikan landasan untuk membimbing seseorang belajar dengan baik.

Pernafasan

Bagi mereka yang awam, untuk mengambil udara di atas permukaan air dan kemudian masuk permukaan air kemudian membuang sisa-sisa pembakaran melalui mulut dan hidung memang tidak mudah. Terutama kebiasaan kita sehari-hari sangat mempengaruhi hal itu. Namun bisa kita berikan latihan-latihan yang teratur, dalam tempo yang relatif tidak lama hal semacam itu mudah untuk di kuasai dengan baik. Beberapa bentuk pernafasan dapat di berikan sebagai berikut:
Sebelum masuk air, cobalah didarat dengan melatih irama mengambil nafas melalui mulut dan mengeluarkan sisa pembakaran melalui hidung, hingga irama ini bisa di kerjakan secara otomatis. Kemudian setelah bisa di kerjakan hal di atas, cobalah cara di kerjakan di tempat/di kolam dangkal atau kolam renang yang memungkinkan seseorang dapat berdiri. Ambilah udara melalui mulut kemudian tutup mulut dan masukan bagian muka ke permukaan air, setelah beberapa saat secara perlahan buanglah sisa pembakaran itu melalui hidung. Kerjakanlah secara berulang-ulang dan kalau memungkinkan mencapai 50-100 kali ulangan, dimana dengan jumlah itu di harapkan gerakannya bisa di kerjakan secara otomatis dan terbiasa. Bagi mereka yang sulit untuk mengambil udara melalui mulut dan membuang melalui hidung, untuk sementara dapat di kerjakan dengan bantuan hidung. Namun cara ini bila sudah menguasai irama pernafasan yang sebenarnya, hendaknya ditinggalkan, oleh karena cara itu sering berakibat mengisap air melalui hidung.

Latihan pernafasan ini dapat ditingkatkan dengan memperlama waktu ketika bagian muka berada di bawah permukaan air, setelah jarak waktu di tempuh lanjutkan dengan membuang sisa pembakaran secara perlahan sebelum naik keatas permukaan air. Misalnya ketika di bawah permukaan air diharuskan berhitung hingga 10, kemudian membuang sisa pembakaran dan selanjutkan naik keatas permukaan air untuk mengambil udara kembali. Cara yang sama dapat dikerjakan menggunakan papan latihan, dimana dengan sikap membungkuk dan kedua kaki tetap pada sikap berjalan di dasar kolam, kemudian kedua tangan memegang papan latihan dikedua ujungya. Lakukan cara-cara diatas sambil berjalan atau diam ditempat.


Meluncur

Langkah berikutnya setelah menguasai cara bernafas, dapat dilanjutkan dengan latihan meluncur. Latihan ini di perlukan teristimewa untuk melatih keseimbangan tubuh di air. Tidak sedikit yang belajar renang, karena tidak menguasai keseimbangan tubuh tenggelam dan tidak mampu berdiri di kolam renang, meskipun kolam dangkal.

Latihan meluncur bisa dikerjakan sebagai berikut:
Berdirilah diatas di tepi kolam dengan sikap membelakang dinding kolam dan salah satu kaki /telapaknya berada menempel pada dinding untuk siap menolak. Lurus kedua lengan diatas kepala dengan ibu jari saling berkaitan satu sama lain.tundukan tubuh dengan berusaha ujung jari ujung lebih dahulu tiba diatas permukan air, serentak dengan tibanya kedua tangan diatas permukan air, kaki yang menempel pada dinding mendorong hingga tubuh terdorong ke depan, di saat luncuran berjalan hindarkan mengambil sikap berdiri sebelum titik luncurnya menurun dan kemudian berhenti, dan sebagai akibatnya kedua kaki secara otomatis turun hingga dapat berdiri. Apa bila saat meluncur dengan kecepatan tinggi turun dengan tiba-tiba untuk berdiri. Apabila saat meluncur dengan kecepataan tinggi turun dengan tiba-tiba untuk berdiri, banyak terjadi justru yang melakukan tidak mampu berdiri. Cara yang sama dapat dilakukan dengan meluncur dari tengah-tengah kolam dangkal. Setelah luncuran habis, kemudian berdiri dan lakukan berulang-ulang hingga membawa tubuh menepi.

Latihan meluncur ini dapat dikembangkan hingga kedua belah kaki mampu menempel kedinding kolam, dan sikap ini hanya dapat dilakukan kalau yang belajar sebelum meluncur terlebih dahulu masuk kebawah permukaan air dalam sikap telungkup, hingga kedua kaki memungkinkan untuk menolak. Latihan-latihan bisa dikerjakan secara berulang-ulang hingga mampu rilek dan terhindar dari rasa tegang yang sering berakibat tubuh memutar.

Terapung

Posisi terapung sebenarnya tidak hanya dapat dilakukan dalam satu sikap saja, tetapi banyak posisi yang bisa dilakukan supaya tubuh dapat terapung diatas permukaan air. Sikap ini pada prinsipnya dapat dilakukan, merupakan perwujudan dari pemindahan pusat titik berat (Centra of Gravty) dan pusat titik apung (Centra of Buoyancy) disaat tubuh terapung. Baik didarat maupun di udara, seseoran dapat membalik ataupun memutar dengan menggunakan pusat titik berat. Di air bagaimanapun bagian dada adalah merupakan titik apung. Pusat titik berat seseorang disaat sikap telentang secara horizontal dengan kedua tangan berada di samping tubuh, ini merupakan pusat dari seluruh titik berat berada dilokasi pinggul. Sejak segmen tubuh mempunyai perbedaan berat, maka jarak dari tiap segmen dari pusat titik berat pada tubuh berperan menentukan secara pasti lokasi atau letak dimana pusat titik berat. Bilamana seseorang pada sikap telentang secara horizontal, maka titik berat cenderung bergerak diatas segmen tubuh dan secara individu menarik kearah bawah. Daya apung air akaan mendorong setiap segmen horizontal, bila titik berat spesifik tiap bagian kurang dari 1.0.

Beberapa segmen tubuh mungkin lebih terapung disbanding lainya. Seperti tangan merupakan segmen yang muda terapung, lain halnya dengan kaki adalah bagian dari struktur tubuh yang berat dan tidak mudah terapung terutama daya apung pada air diarahkan langsung kepada bagian dada atau disebut dengan pusat dari titik apung tubuh. Udara pada paru-paru digunakan untuk daerah dada. Dengan demikian struktur otot umumnya menjadi bagian yang ringan dari tubuh dan akibatnya dada akan cenderung terapung ke atas.

Kurangnya gerak apung terjadi hanya ketika pusat dari titik apung dalam meluruskan langsung diatas pusat titik berat. Dengan seseorag dari rata-rata membentuk dua pusat adalah saat meluruskan dalam posisi agak pararel keatas permukaan air, rata-rata seseorang mempunyai banyak lokasi berat tubuh. Pada posisi ini di air, rata-rata seseorang mempunyai banyak lokasi berat tubuh yaitu pada paha, kaki, kepala dan pahu.

Kekuatan titik berat tarikan paha [pusat titik berat] dan kaki kearah bawah. Kekuatan apung dari gerakan air ketika menekan kearah atas, diatas bagian dada [pusat titik apung]. Ini merupakan lawan kekuatan yang menjadi penyebab tubuh beraksi seperti orang berjalan dengan mmenjaga keseimbangan tubuh agar tidak terjatuh, tubuh mulai memutar kearah depan ketika paha dan kaki bergerak kearah bawah. Apa bila pusat titik berat pada rongga tulang panggul dapat berputar di bawah pusat titik apung pada dada, dan seseorang akan dapat terapung dengan tidak bergerak.

Bagaimana seperti kaki tengelam sepanjang rotasi atau berputar dari bagian depan tubuh itu, kearah bawah menambah daya gerak dan ini menambah percepatan dari kaki ditambah beratnya. Sebabnya tubuh bisa merendam, sejak kekuatan apung ini tidak cukup mampu untuk mengatasi kekuatan dari titik berat dan gerakan kearah bawah dari kaki. Ini cenderung atau gejala untuk kaki dapat menarik seluruh tubuh dibawah air.

Orang yang belajar, bisa di air dengan sikap bahu dalam, bisa kepala di baringkan ke belakang dimana punggung dan telapak tangan keluar dari bahu, air akan mulai mendorong tubuh selain beberapa dorongan .

Selain beberapa dorongan, kaki akan naik pada posisi apung yang normal.

Sikap terapung dapat di pelajari salah satu dari 3 posisi. Apakah horizontal, diagonal atau vertical. Dengan terapung dan mengurangi gerak pada sikap vertical atau posisi diagonal dapat banyak mempelajari terapung dengan sikap horizontal dengan mengganti-ganti posisi tangan dan kaki.

Rabu, 24 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO (4)

Tiga Bulan untuk "Dunia Sophie"

Siapakah dirimu? Dari mana asalnya dunia?. Itulah pertanyaan pertama yang dilayangkan tokoh Alberto Knox dalam novel Dunia Sophie. Para pencinta novel dan filsafat pasti sudah pernah membaca paling tidak mendengar ceritanya. Dunia Sophie merupakan sebuah novel karya Jostein Gaarder, diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Mizan tahun 1996. Aslinya ditulis dalam bahasa Norwegia, tetapi sudah diterjemahkan ke dalam lima puluh tiga bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Novel ini sebagian besar terdiri dari dialog-dialog antara Sophie, seorang gadis remaja, dan seorang pria misterius bernama Alberto Knox, yang saling terkait dengan plot yang unik dan misterius. Novel ini menjadi sebuah novel sekaligus panduan dasar filsafat. Pada tahun 1999, novel ini diadaptasi kedalam sebuah film di Norwegia.

Saya baru mengetahui tentang novel ini setelah 14 tahun pasca penerbitan pertama. Tepatnya tahun 2010. Waktu itu aku sudah semester tujuh. Saya tidak pernah mencari tahu sebelumnya atau mendengar cerita orang. Saya memiliki hobby membaca, tapi novel ini luput dari perhatian saya. Untuk memiliki buku ini, membutuhkan proses yang panjang. Kisahnya seperti ini.

Suatu hari, saya jalan-jalan ke toko buku Gramedia Matraman. Tidak ada tujuan lain selain pergi membaca gratis dan “cuci mata”. Membaca gratis, karena tidak ada uang untuk membeli. Gramedia dijadikan perpustakaan ketiga setelah perpustakaan fakultas dan perpustakaan nasional. “Perpustakaan” Gramedia sangat special. Di samping menyediakan buku-buku baru, juga menyajikan pemandangan yang menarik. Sehingga “cuci mata” menjadi tujuan lain selain membaca.

Setiap kali ke Gramedia, rak buku-buku hukum menjadi tujuan pertama. Di sana saya senang membaca buku-buku tata Negara. Biasanya, saya menggunakan waktu satu sampai dua jam membaca. Setelah bosan, biasanya jalan-jalan sekitar tempat jualan novel. Sebenarnya saya tidak terlalu suka baca novel. Ke tempat jualan novel bukan untuk membaca, tetapi sekedar jalan-jalan sambil melihat gadis-gadis cantik, sedang mata berpura-pura melihat ke arah rak novel. Tanpa disengaja, mataku tertuju pada novel fenomenal itu, “Dunia Sophie”. Saya iseng membaca sinopsisnya. Menarik juga. Coba lihat harganya. Astaga! Harganya selangit. Sembilan puluh Sembilan ribu rupiah.

Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Dalam kantong celanaku (waktu itu aku tidak memiliki dompet) hanya ada uang lima ribu rupiah. Uang itu hanya cukup untuk bayar angkot pulang ke kosan. Bahkan untuk makan siang pun aku tidak punya. Ingin hati memilikinya, apadaya uang tak punya. Terpaksa hanya bisa memandang.

Besoknya, aku datang lagi dengan berjalan kaki dari Diponegoro 74. Setelah mengunjungi stand buku-buku hukum sebentar, aku pun ke tempat novel itu berada. Niatku bukan untuk membeli, tapi sekedar membaca. Setelah lima belas menit mencari, Dunia Sophie tidak kutemukan. Setelah kutanya ke pelayan, ternyata bukunya habis. Gila! Buku itu laris buanget. Terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Aku iseng pergi ke Pasar Senen, tempat jual buku-buku murah. Waaaah!!! masih ada. Aku mengambilnya dan melihat-lihat sepintas. Kertasnya hampir sama dengan yang dijual di Gramedia. Tapi setalah ku bolak-balik sampai halaman tengah, sebagian buku itu hampir copot. Saat hendak menutupnya, tiba-tiba mataku tertuju pada halaman yang aneh. Ada lompatan penomoran halaman. Ternyata ada halaman buku yang hilang. Dengan penuh kekecewaan, buku itu kuletakkan kembali pada tempat semula. Penjualnya menawarkan sambil menjelaskan sedikit isinya sejauh yang dia paham. “Seratus dua puluh, bang. Novel ini sangat menarik. Laris pulak, bang”, katanya dengan sedikit dialek batak. “Mahal kali, lae”, jawabku. “Aku kasi seratus buat kaulah, bang. Harga langganan”, katanya lagi. “Ah, mahal kali. Tiga puluh lah”, jawabku sambil kaki beranjak pergi dari tempat itu. Aku tidak jadi beli. Padahal dikasih harga tiga puluh ribu pun, aku tetap tidak bisa membelinya. Aku hanya punya sepuluh ribu perak.

Aku semakin penasaran dan ingin memiliki Dunia Sophie. Sejak semester tujuh, aku mulai menabung untuk mendapatkan buku itu. Seribu rupiah per hari. Proses menabung pun penuh gejolak tan tantangan. Aku menabung dari uang jatah bulanan. Seperti yang aku tulis dalam edisi “Persemu, Rumahku”, aku mendapat jatah bulanan dari kakakku sebesar lima ratus ribu rupiah. Sudah termasuk uang kosan (tiga ratus ribu rupiah), fotokopi bahan kuliah, uang makan, dan lain-lain. Dengan jumlah uang yang terbatas, aku berusaha menabung, walau selalu gagal. Setelah 50 hari menabung, celengan itu terpaksa dibongkar lagi. Alasannya Cuma satu. Aku tidak ada lagi uang untuk makan. Berusaha nabung lagi, tetapi gagal.

Aku baru betul-betul bisa mulai menabung setelah mulai magang di LeIP. Aku magang di LeIP sejak Juli 2011. Aku memiliki sepuluh hari kerja dalam sebulan, dengan uang transport seratus ribu rupiah per kehadiran. Total satu juta selama sepuluh hari. Di luar sepuluh hari kerja itu aku nganggur dan kadang mencari tempat diskusi. Biasanya aku pergi nongkrong dan diskusi di kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Jakarta (PBHI Jakarta) sekedar isi waktu luang. Tidak ada uang tambahan.


Uang satu juta melebihi uang saku bulanan saya selama kuliah. Sejak saat itu, aku sudah mulai mandiri. Aku membayar kosan dan makan selama sebulan dari uang satu juta itu. Sejak saat itu pula aku mulai menabung lagi demi Dunia Sophie dan keperluan lainnya. Biasanya, aku menabung seratus rupiah per hari. Tiga bulan magang di LeIP aku bisa membelikan novel dunia sophie itu. Saya bangga ketika bisa membelikan novel Dunia Sophie dari keringat sendiri dan hasil tabungan tiga bulan. Perjuangan untuk memilikinya membuat aku semakin terpacu untuk membacanya secara berulang-ulang. Bahkan, saya selalu puas walau sekedar memandangnya. Bukan karena isinya, tapi karena perjuangan saya untuk mendapatkan novel itu. Tiga bulan untuk Dunia Sophie.

Kamis, 18 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO 74 (3)

Peradilan Semu, Rumahku

Kontrak enam bulan tidak boleh nongkrong di kampus tidak berjalan. Aturan itu hanya berlaku tiga bulan. Puncaknya saat tawuran dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). November 2007, pedagang kaki lima depan kampusku masih ada. Suatu siang menjelang sore, satu kompi Satpol PP dengan sewenang-wenang mengobrak abrik dan mengusir para pedagan kaki lima dengan tidak manusiawi. Barang dagangannya dirampas, sedangkan pemiliknya dibiarkan menderita kelaparan. Para pedagang itu tidak melawan, hanya berpasrah melihat barang dagangannya di rampok Satpol PP. Jelas kami tidak tega melihat tingkah pemerintah otoriter itu. Suatu perbuatan yang tidak manusiawi. Mereka hanya menghukum tapi tidak member solusi. Bagi kami, itu seperti orde baru yang kembali. Merasa iba dengan nasib para pedagang itu, kami pun tergerak  melakukan perlawanan. Seolah gayung bersambut, tiba-tiba ada suara yang menyerukan “Viva UKI”. Sontak teriakan itu menjadi komando perang yang mengobarkan semangat perlawanan. Hampir semua mahasiswa turun ke jalan melawan penindasan Satpol PP. Batu, kayu, sabuk bahkan celurit menjadi senjata andalan. Sesaat, Satpol PP berhasil dipukul mundur. Namun tidak lama berselang, tawuran muncul kembali. Sejumlah orang berpakaian preman menyerang kampus UKI. Tawuran besar itu tidak menimbulkan korban jiwa, tapi suasananya cukup mencekam. FH UKI diliburkan selama dua hari. Pasca liburan, seluruh mahasiswa baru kompak untuk tidak memakai baju kemeja celana bahan, apalagi jaket almamater.

Entah siapa yang memulai, hari itu kami datang ke kampus memakai pakaian layaknya para senior. Kami juga sudah mulai berani duduk di bangku taman. Anehnya, tidak satu pun senior yang melarang. Kebabasan mulai dirasakan sejak hari itu. Dari situlah aku mulai dengan dengan bebas berorganisasi dalam kampus. Semakin hari aku semakin aktif di FDIM.

Setahun di UKI, aku sudah mulai ikut kegiatan kompetitif. Berawal dari bergabung dengan FDIM, kami berubah haluan. Suatu hari ada undangan dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Undip mau mengadakan kompetisi peradilan semu tingkat nasional Piala Prof Sudarto II. Para seniorku di FDIM mengajakku ikut dalam kompetisi itu. Dengan melewati beberapa tahap seleksi, akhirnya aku masuk dalam tim inti kompetisi. Selama hampir tiga bulan, kesibukanku dan tempat nongkrongku pun berpindah. Tidak lagi di perpustakaan, tetapi berpindah ke ruangan 111, sebuah ruangan yang kami jadikan markas peradilan semu. Kami mendapat surat izin pemakaian ruangan selam 3 bulan. Ruangan itu tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Kami bergaul secara eksklusif, sampai-sampai orang di luar kami tidak berani bergabung apalagi masuk ke ruangan itu. Kami diperlakukan istimewa. Ruangan itu layaknya kantor bagi kami. Jam 8 sudah nongkrong, pulang jam 10 malam bahkan nginap. Inilah cikal bakal Moot Court Community Fakultas Hukum UKI (MCC FH UKI).

MCC FH UKI didirikan setelah pulang dari kompetisi peradilan semu Prof. Sudarto. Atas inisiatif delegasi, kami sebagai penerus giat mengurus seluruh persyaratan administrasi untuk mendirikan UKM. Melalui rapat singkat yang dihadiri seluruh anggota delegasi FH UKI, rapat mengangkat saya untuk memimpin perjuangan mendirikan UKM Peradilan semu. Ide mendirikan UKM ini sebenarnya berawal dari rapat ketua tim delegasi di Undip Semarang. Rapat itu memutuskan untk membentuk sebuah Organisasi Nasional Peradilan Semu. Dalam rapat perdana itu diputuskan, yang berhak menjadi anggota hanya kampus yang memiliki organisasi peradilan semu. Waktu itu, FH UKI belum ada organisasi. Maka atas mandat rapat itu, kami segera membentuk kepengurusan sementara, dan saya ditunjuk sebagai ketua.

Saya tidak mau memimpin sendirian. Menggandeng teman angkatan yang ikut dalam kompetisi, kami mulai bergerak mensukseskan niat mendirikan organisasi resmi intra kampus. Martopado dan Wilfrid Sihombing menjadi teman perjuanganku. Kami seperti saudara yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Juga ada dua orang junior yang tidak kalah semangatnya, Guritno Limbad, dan Nova Siahaan. Hampir setiap hari kami bolak balik keluar masuk ruangan dekan dan ruangan kepala program studi (Kaprodi). Dekan dan kaprodi menentang konsep organisasi kami yang tidak berada di bawah BEM dan senat mahasiswa. Alasan kami waktu itu, kami tidak mau berada dibawah naungan senat mahasiswa dan BEM. Pada saat itu, senat dan BEm FH UKI tidak jelas. Organisasinya ada, tapi tanpa kegiatan. Seluruh programnya tidak jelas. Dana khusus untuk kegiatan mahasiswa tidak jelas pengelolaannya.

Merespon usulan kami, Dekan dengan beberapa pimpinan fakultas mengundang pimpinan UKM FH UKI dan senat serta BEM, termasuk saya untuk rapat. Dalam rapat itu, saya tetap menawarkan ide agar organisasi yang kami bentuk berdiri langsung di bawah organisasi fakultas, atau kedudukannya setara dengan senat. Secara organisatori memang tidak benar dan tidak logis. Tapi karena situasi tidak jelas saat itu, kami tetap berprinsip demikian. Dalam rapat itu juga, kami menunutut untuk pemilihan ulang terhadap ketua senat dan BEM. Alhasil tuntutan kami beberapa bulan kemudian terlaksana, walaupun sekedar isu. Namun, organisasi kami tetap berdiri kokoh. SK pendirian dari Fakultas pun terbit, ruangan ber-AC pun disediakan menjadi markas kami. Semua tuntutan kami dipenuhi pihak Fakultas.


Perjuangan itu tidak semuanya berhasil. Kami malah terlena dengan kemewahan dan urusan administrasi organisasi. Kegiatan utama yang telah menjadi alasan berdirinya organisasi tidak jalan. Undangan kompetisi direspon biasa-biasa saja. Walau permasalahan tidak bisa ditimpakan hanya kepada kami sebagai pengurus. Waktu mendapat undangan untuk ikut kompetitisi di Universitas Pancasila misalnya. Kami meminta agar kampus ikut membantu membiyai dan membimbing. Duitnya turun, tapi hanya cukup untuk pendaftaran. Sedangkan untuk urusan sehari-hari tidak pernah ada. Setelah sekian terdesak, kami pun meminta bantuan dekan. Namun, petaka itu tiba. Dekan baru merespon ketika pedaftaran sudah ditutup. Kemarahan pun mulai muncul. Saya memutuskan tidak mau memimpin lagi, dan memilih mundur. Tongkat kepemimpinan di serahkan ke juniorku. Komunitas ini tetap berjalan sampai sekarang, bahkan semakin agresif. Terakhir saya di minta menjadi moderator dalam diskusi yang diadakan komunitas ini. Ditengah kesibukan, aku tidak bisa menolak, karena aku turut bertanggungjawab dan punya ikatan emosional dengan komunitas ini. Peradilan semu telah membesarkanku dan telah menjadi rumahku.

Selasa, 16 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO 74 (2)

Perpustakaan Tempat Nongkrong

Berjalan kaki dari Kramat Sentiong ke Diponegoro 74 sudah menjadi kebiasaanku. Tidak bermaksud olahraga seperti yang dilakukan kebanyakan orang saat ini, tetapi untuk menghemat jatah bulanan. Tidak ada jatah uang angkot. Uang bulanan yang kuterima dari kakakku cukup untuk bayar kos-kosan dan uang makan sebulan. Aku mendapat uang saku lima ratus ribu per bulan. Tiga ratus ribu untuk bayar kosan, dua ratus ribu untuk makan, fotokopi, beli buku, dan keperluan lainnya. Untuk menghemat, setiap pagi harus puasa, siang makan nasi-sayur-tempe. Menu yang sama pun berulang saat makan malam. Cukup lima ribu untuk makan siang dan malam. Masuk pertengahan minggu ketiga dalam bulan, uang dua ratus ribu pun habis. Beruntung, aku bergaul dengan banyak orang. Mereka biasanya memberikan aku pekerjaan.

Pekerjaan yang diberikan berupa makalah. Di UKI, hampir setiap hari mahasiswa mendapat tugas menulis makalah. Bagi mahasiswa yang rajin, menulis makalah menjadi pekerjaan yang menarik. Sedangkan bagi yang malas,menulis makalah merupakan bencana. Untuk mendapatkan nilai, terpaksa mereka membayar tenaga orang. Aku selalu memanfaatkan situasi ini. Aku menjadi “joki” makalah. Aku tidak memasang standar harga. Aku hanya ikhlas menulis dan mengambil manfaat positif. Aku mendapat dua manfaat sekaligus. Satu sisi pengetahuanku bertambah karena dipaksa untuk membaca banyak, di sisi lain aku mendapat insentif. Satu matakuliah biasanya aku bisa mendapat dua ratus ribu. Itu sudah bersih, karena print dan jilid ditanggung. Tugasku hanya membaca dan dan membaca serta menulis. Hampir semua waktu ku korbankan untuk membaca dan menulis makalah. Dengan demikian, perpustakaan menjadi tempatku bermain, sekaligus tempat pelarian yang nyaman.

Dalam perpustakaan, tidak ada yang mempedulikan kita. Senior-seniorku yang ada diperpustakaan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka tidak merasa risih dengan kehadiran mahasiswa baru seperti saya. Tidak ada senioritas. Malah mereka bangga kalau ada mahasiswa apalagi mahasiswa baru yang nongkrong di perpustakaan.

Perpustakaan FH UKI terbagi dalam tiga ruangan. Ketika kita masuk perpustakaan ini, kita akan disambut ruangan yang cukup besar. Bentuk mejanya seperti model restoran. Satu meja ada delapan kursi. Di sebelah kanan pintu masuk disediakan catalog.  Sebelah kiri ada dua buah computer yang di sampingnya terdapat meja informasi untuk mencari tahu buku yang akan di pinjam. Ruangan ini biasa digunakan untuk diskusi. Masuk lebih ke tengah perpustakaan, akan dijumpai ruangan yang lebih kecil dari ruangan depan. Meja dalam ruangan disekat, satu orang satu meja. Berbeda dengan ruangan sebelumnya, ruangan tengah ini sangat tenang. Di depan pitu ruangan ini di sediakan Koran berbagai media cetak. Ruangan ini sering digunakan untuk baca-baca. Tidak diperkenankan diskusi dalam ruangan baca ini. Lebih ke dalam lagi, kita akan menjumpai orang-orang yang sedang sibuk dengan laptop, buku atau pun skripsi. Mereka tidak peduli dengan kehadiran orang di sekitarnya. Ruangan ini biasa digunakan mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Di atas pintu masuk ruangan ini dituliskan “ruangan skripsi”.

Suatu siang, saat semua mahasiswa baru hendak pulang ke rumah masing-masing, gerbang kampus tiba-tiba ditutup. Kami sama sekali tidak bisa keluar dari kampus. Dalam situasi itu, aku pun giat mencari informasi. Dalam hitungan menit, informasi yang kucari pun tersebar dengan cepat. Ada rencana tawuran dengan Satpol PP. Saat mahasiswa lain sudah mulai panic, aku malah tenang. Aku tau tempat persembunyian yang paling amin. Tanpa berpikir panjang, aku mencari celah di tengah kerumunan para mahasiswa, dan menyelinap ke perpustakaan. Di perpustakaan aku bersembunyi sambil membaca. Bangku di sudut ruangan tengah menjadi tempat favoritku. Di situ aku bisa membaca Koran, buku, novel atau sekedar menghayal. Aku tidak memikirkan lagi apa yang terjadi di luar ruangan perpustakaan itu. Namun, sesekali aku tetap mendengar teriakan orang yang sedang tawuran. Tidak ada sedikit pun niat untuk bergabung dalam tawuran. Aku hanya fokus pada buku yang ada di hadapanku. Saking sibuk membaca sampai aku tidak sadar kalau ada orang yang sedang menghampiriku. Dia senior setahun di atas aku. Aku panik, dan langsung saja jantung terasa copot. Pikiranku langsung tertuju pada kontrak “Mahasiswa baru tidak boleh nongkrong di dalam kampus selama enam bulan”. Seolah mengetahui perasaanku, dia dengan ramahnya menyapaku dan memperkenalkan diri.

“Halo de, namaku Gusti. Aku angkatan 2006. Namamu siapa?”, katanya ramah
“Halo Kak. Namaku Alfeus, dari Flores”, jawabku berusaha ramah
“Kamu senang membaca ya”.
“Hhhmm ga juga kak. Terkadang malas juga”
“Kamu sudah daftar di unit kegiatan mahasiswa?”
“Belum, kak”.
“Besok, ketemu saya di secretariat FDIM ya. Di samping ruangan senat mahasiswa, depan kantin, dekat lapangan futsal. Siapa tau kamu tertarik dengan UKM kami”, ajaknya.


Dari situlah aku mulai mengenal Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fakultas Hukum UKI. Besoknya, setelah selesai kuliah, aku langsung ke secretariat Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa (FDIM). Aku diterima dengan hangat, seolah sebelumnya sudah berkenalan. Hampir seharian aku nongkrong di sekretarian. Lagi-lagi, di sini tidak ada senioritas. Kekerasan tidak berlaku. Hanya kreatifitas yang dibutuhkan, dan keterbukan untuk saling belajar dan berdiskusi. Sejak saat itu aku mulai berkenalan dengan teman baru, dengan para seniorku, dan tempat nongkrong baru.  Tapi aku tetap tidak melupakan perpustakaan. Perpustakaan telah menjadi kosan kedua bagiku. Kalau tidak ada kegiatan kampus, aku selalu ada di perpustakaan. Selain perpustakaan fakultas, tempat nongkrong favoritku lainnya yaitu perpustakaan nasional. Jaraknya tidak jauh dari kampusku. Sekitar 200an meter. Kalau buku yang aku cari tidak kutemukan di perpustakaan fakultas, solusinya pasti ada diperpustakaan nasional. Ini salah satu alasan mengapa aku mulai betah di FH UKI. Tempat yang sangat strategis. Ke mana-mana dekat. Fasilitas sangat mendukung. Perpustakaan nasional menjadi kampus keduaku. Hampir setiap hari aku berada di lantai tiga perpusnas yang ada di jalan salemba raya itu. Kebiasaan wisata perpustakaan itu berulang dan berjalan selama tujuh semester di FH UKI. Teman-temanku tidak sulit mencariku. Kalau tidak menemukan aku di perpustakaan, mereka pasti mencari aku di sekretariat Peradilan Semu, Komunitas yang aku dirikan bersama teman-temanku.

Kamis, 11 Juli 2013

KENANGAN DI DIPONEGORO 74

Di bawah tenda sederhana berwarna biru, duduk dua ratusan pria berkepala plontos beserta wanita berambut 'kepang kuda'. Mereka sedang mendengar ceramah sang pemimpin yang sedang memperkenalkan komunitas yang dipimpinnya. Komunitas itu dikemudian hari kami menamakannya Diponegoro 74. Nama itu diambil dari nama jalan tempat komunitas itu berada. Tepatnya di Jalan Diponegoro nomor 74-76 Jakarta Pusat. Letaknya sangat strategis. Berada di tengah kota Jakarta, di depannya berdiri Rumah Sakit yang sarat sejarah, Cipto Mangunkusumo. Menuju ke Diponegoro 74 tidaklah sulit. Bisa naik apa saja, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Bagi yang naik kereta, bisa turun di stasiun Cikini atau Stasiun Keramat. Kalau naik transjakarta, bisa turun di Halte Salemba UI atau Salemba Karolus, begitu pun kalau naik angkot. Bajaj, oplet, becak, kopaja, metromini, bus pun lewat di Diponegoro 74. Komunitas ini memang milik semua kalangan, tanpa memandang kasta sosial. Begitulah impian Yap Thiam Hien, seorang pendekar hukum saat mendirikan komunitas ini.

Hari itu, awal september, kami menjalankan masa pengenalan kampus. di tempat itu pula aku memulai kehidupanku yang baru. Aku mulai mengenal temanku satu per satu. Saat berkenalan, pertanyaan pertama yang masuk ke telingaku,"marga apa, lae?". Mendadak mukaku memerah, jantungku berdebar kencang menahan marah sekaligus bingung. Aku marah, karena menggunakan kata "lae". Di daerahku, Manggarai, Flores yang di kenal dengan nusa bunga itu, "lae" memiliki arti 'kotor', makian. Kata itu digunakan untuk menunjuk nama lain kelamin pria. Biasa digunakan saat seseorang marah. Aku tersipu malu sekaligus marah ketika mendengar kata marga. Aku pernah mendengar kata itu sebelumnya. Dalam benakku, kata marga itu hanya untuk tempat sekumpulan binatang atau tumbuhan, semisal marga satwa. Benar, hanya itu yang aku kenal. Selebihnya aku tidak kenal. Aku pun bingung menjawab pertanyaan teman-temanku. Aku hanya bisa menyebutkan "Alfeus dari Flores" saat berjabatan tangan.

Seharian penuh kami duduk di bawah tenda itu. Aku tidak ingat lagi apa yang dijelaskan pengajar. Satu hal yang aku ingat, sebelum memulai ospek, kami ibadat menurut ajaran Kristen. Ini pun menjadi hal baru bagiku. Aku berasal dari keluarga Khatolik, sejak kecil sampai SMA berada dalam lingkungan khatolik. Aku merasa asing di tempat itu. Ini benar-benar komunitas baru bagiku. Aku tidak khusuk mengikutinya karena asik berbisik dengan teman baruku. Namanya Beri, Marga Tambunan. Tubunya gempal, wajahnya bulat tapi ganteng. Satu pesan dari Bery yang aku ingat sampai saat ini,”besok jangan lupa bawa golok, kawan”. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku menganggapnya sebagai lelucon.

Keesokan hari, aku kembali ke komunitas itu. Menggunakan celana bahan warna hitam dengan kemeja putih yang dibalut jaket almamater warna biru, aku jalan menyusuri lorong depan ruangan 135 dan 136. Saat melewati ruangan nomor 136, tiba-tiba ada suara teriak memanggil. Aku tidak menoleh, karena suara itu bukan memanggilku. Dia memanggil si botak yang aku pun tidak tahu, siapa si botak itu. Suara itu kembali memanggil dengan lebih keras.”Oi Botak, sini kau!”. Karena tidak ada yang menjawab, orang yang berteriak tadi mendatangiku dari belakang dan menarikku ke dalam ruangan gelap 136. Disitulah aku tahu, kalau akulah yang dia panggil. “Mengapa kau tak jawab tadi?”, tanyanya. “Aku tidak tahu kalau abang memanggil aku”, jawabku. “Kenapa?”, katanya dengan suara teriak yang membuatku sedikit gugup. “Namaku Alfeus, bang. Bukan botak. Aku dari Flores”, jawabku polos. “Tai kau. Siapa yang nanya nama kau? Aku hanya panggil kau si botak karena kepala kau itu botak. Ya sudah, kau pergi beli sigaret dulu satu bungkus buat abang”, perintahnya sambil menyerahkan selembar uang seribu.

“Rokok apa yang harganya seribu rupiah?”tanyaku dalam hati. Seolah mengetahui pertanyaanku, Mr. Goceng menyuruhku membeli rokok Mild. Astaga, mana cukup uang seribu ini membeli rokok yang mahal itu?. Aku keluar dengan penuh tanda tanya. Tanpa memikirkan solusi lain, aku pun segera mencari rokok mild yang harga seribu rupiah itu. Aku sadar, dicari ke mana pun pasti tidak akan ketemu. Satu-satunya solusi, aku harus rela uang jajanku disumbangkan untuk beli rokok. Dengan berat hati, aku mengeluarkan dompetku, kuambil duit sepuluh ribu dan kubeli rokok “mild seribu rupiah” itu. Aku pun kembali ke ruang gelap tadi, dan menyerahkan rokok itu ke Mr. Goceng.

Goceng, bukan nama Aslinyanya. Kata Goceng merupakan gelar yang aku berikan karena kelakuannya. Setiap hari, dia palakin mahasiswa baru. Setiap orang harus kolekan rata lima ribu per orang. Topi yang biasa dia kenakan digunakan untuk mengumpulkan uang lima ribuan itu. Sehari Mr. goceng bisa mendapatkan ratusan ribu. Sembari malakin, Mr. Goceng menanamkan ideology perjuangan komunitas. Dengan suara tinggi nan penuh semangan, Goceng mengajarkan arti penting bela komunitas, harga diri komunitas, ideology tawuran, dan lain sebagainya.

Suatu siang, kami dikumpulkan dalam suatu ruangan. Kebetulan hari itu masih minggu pertama kuliah. Biasanya, meinggu pertama kuliah jarang ada dosen yang masuk. Telah menjadi sebuah tradisi yang tidak tahu penyebabnya. Di ruangan 209, cahaya lampu remang-remang dengan udara AC yang dingin, sekelompok gundik yang merasa diri senior memaksa kami membuka baju. Katanya, mereka mau mastiin tidak boleh ada yang pakai tato. Kami telanjang dada di depan mahasiswi yang ikut dikumpul. Sambil telanjang dada kami disuruh push up sebanyak dua puluh kali. Dalam nafar yang ngos-ngosan setalah push up, kami dipaksa makan permen. Satu permen untuk 40 orang. Caranya, permen itu diemut, kemudian dipindahkan ke mulut orang lain tanpa bantuan. Transaksi antarmulut. Menjijikan. Temanku menjatuhkan permen itu ke lantai, dan dipaksa memungutnya pakai mulut dan dipindahkan kemulut orang lain. Orang terakhir harus menghabiskan permen itu. Menurut Goceng, apa yang kami lakukan melambang kesatuan dan kebersamaan. Susah senang ditanggung bersama, dan bersama melawan ketidak adilan. Satu kata: lawan!.


Kata “lawan” biasanya diawali dengan tepukan “Viva UKI”. Ketika ada orang yang mengkomandoi “Viva UKI”, maka setiap mahasiswa/mahasiswi serempak melakukan tepukan tangan berirama layaknya tepuk pramuka. Tepukan itu dipercayai memacu semangat juang dan member nuansa kekompakan serasa senasib.

Bersambung....